Larangan Mantan Terpidana Koruptor Menduduki Jabatan Publik
Jurnalis: Wafil M
KABARBARU, OPINI – Larangan bagi para terpidana, khususnya koruptor untuk kembali menduduki jabatan publik sempat menuai pro-kontra dari berbagai kalangan, terutama bagi partai politik ataupun para politisinya. Hal ini bermula saat disahkannya UU Pilkada pada tahun 2015 yang di dalamnya memuat larangan terpidana dengan hukuman di atas 5 tahun untuk mencalonkan sebagai kepala daerah. Namun saat uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi, mengatakan bahwa pasal 7 huruf g UU Pilkada Perubahan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 2014 (inkonstitusional, di sisi lain juga dianggap bahwa pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pada tahun 2018, larangan serupa kembali muncul dengan adanya PKPU Nomor 20 tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pasal 4 ayat (3) tentang larangan mantan terpidana korupsi, narkotika, dan pedofilia menjadi bakal calon. Sekalipun kemudian ditolak dengan dalih tidak mematuhi Putusan MK NO:42/PUU-VIII/2015 yang membatalkan norma hukum pencabutan hak politik bagi mantan terpidana, dua peraturan tersebut adlah suatu langkah antisipatif untuk menjegal tindak pidana korupsi dilakukan kembali oleh orang yang sama.
Kita lihat bersama bahwa korupsi sebagai extraordinary crime sungguh merugikan negara serta masyarakat. Sebab, melihat catatan terakhir dari Indonesia Corruption Watch, bahwa kerugian yang dialami oleh negara mencapai Rp 26,83 triliun pada semester 1 2021. Jumlah ini meningkat 47,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 18,17 triliun. Sekalipun kemudian kasus yang ditangani oleh Aparat Penegak Hukum (APH) cenderung fluktuatif sejak tahun 2017-2021, namun kerugian yang dialami justru semakin meningkat dimana kemudian yang kita butuhkan adalah bukan hanya langkah tindakan ketika terjadinya korupsi, namun juga perlu penerapan sedia paying sebelum hujan¸yaitu suatu langkah yang mencegah terjadinya korupsi.
Kita akui bersama bahwa UUD 1945 sebagai dasar hokum tertinggi di Negara kita sangat menjunjung tinggi akan Hak Asasi Manusia, di mana hal ini dengan jelas tertulis pada pasal 1 Ayat (3) ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hokum, di mana ciri dari Negara hukum adlah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum dan pemerintah tanpa terkecuali. Hal ini diperjelas pada UUD 1945 amandemen kedua pasal 28 yang menyebutkan dengan terang Hak Asasi Manusia.
Namun, kita juga tidak bisa menafikan bahwa untuk dapat mengimplementasikannya, Undang-undang Dasar membutuhkan peraturan perundang-undangan yang dengan jelas mengatur hal-hal dalam UUD 1945, yang tentunya tidak bertolak belakang dengan UUD.
Selain itu, dalam Konvenan Internasional Sipil dan Politik, ICCPR (International Convenan on Civil and Political Rights) disebutkan bahwa keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia diklasifikasikan menjadi dua jenis: pertama, kategori neo-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi, walaupun dalam keadaan darurat. Hak ini terdiri atas; (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from slavery); (iii) hak bebas dari penahanan karena gagal dalam perjanjian (utang); (iv) hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai subjek hukum, dan atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, agama.
Jenis kedua yaitu kategori derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi/ dibatasi pemenuhannya oleh negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini meliputi (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat/ berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberi informasi dengan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan/ tulisan). Selain itu, dalam Pasal 28J ayat (2) amandemen kedua UUD 1945 mengatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dari sini, maka aturan tentang pelarangan bagi para terpidana dengan hukuman di atas lima tahun untuk mencalonkan sebagai pejabat publik akan diangap sepadan dengan tindakan melanggar hokum yang dilakukannya, karena setiap orang yang menjalankan hak dan kebebasannya juga memiliki batasan tertentu sehingga memungkinkan adanya larangan ini. Selain itu, tentu larangan tersebut dapat menjadi pelajaran moral bagi terpidana dan orang yang berniat melakukan korupsi. Adalah lebih baik untuk mencegah daripada mengobati.
- Penulis adalah Ramadhan Iman Santoso, merupakan Pimpinan Umum LPM Advokasia (2021) dan Demisioner Wakil Ketua II Rayon Ashram Bangsa 2020-2021
- Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co