Ketum PMII UIJ Kutuk Keras Pemanggilan Kader Akibat Materi Stand-Up: Sebut Tindakan Kampus Represif dan Antikreativitas.
Jurnalis: Bagaskara Dwy Pamungkas
Kabarbaru, Jember – Ketua Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Islam Jember (UIJ), Ainur Rofiqi, melontarkan kecaman keras terhadap tindakan pihak kampus yang memanggil salah satu kader PMII UIJ, Irsyad, usai materi stand-up komedinya di Universitas Jember viral.
Banyak pihak menilai materi tersebut mengkritik kondisi kampus UIJ, namun menurut Rofiqi dianggap sebagai ekspresi sah dalam menyuarakan aspirasi mahasiswa, yang notabene memiliki paradigma kritis.
“Tindakan ini tidak hanya mencerminkan arogansi suatu institusi akademik, tetapi juga menodai prinsip kebebasan berpendapat yang menjadi pilar utama demokrasi dan kehidupan kampus. Kami mengutuk keras tindakan represif semacam ini,” tegas Rofiqi dengan lantang.
Represi yang Membungkam Kreativitas Mahasiswa
Ainur menyebut, langkah pihak kampus secara implisit melakukan pembungkaman terhadap suara kritis mahasiswa. Menurutnya, pemanggilan Irsyad menunjukkan ketidaksiapan kampus menghadapi kritik dan justru memilih cara otoriter yang bertentangan dengan semangat pendidikan.
“Stand-up komedi adalah media seni yang digunakan untuk menyampaikan kritik sosial secara kreatif. Jika kampus tidak mampu menerima itu, maka di mana lagi mahasiswa bisa menyalurkan aspirasi mereka? Apakah kritik kini dianggap dosa di lingkungan akademik?” ujar Rofiqi dengan nada tajam.
Ia juga menilai bahwa tindakan ini mencerminkan kampus yang antikreativitas dan menghambat pertumbuhan intelektual mahasiswa. “Mahasiswa bukan robot yang hanya patuh tanpa berpikir. Kami punya hak untuk bersuara, dan itu dijamin konstitusi!” tambahnya.
Humor Kritis: Cermin Ketidakadilan Sosial
Dalam perspektif teori humor kritis, lelucon bukan hanya alat hiburan, tetapi juga refleksi atas ketidakpuasan terhadap kondisi sosial. Rofiqi menegaskan bahwa materi yang disampaikan Irsyad adalah representasi kegelisahan mahasiswa yang wajar diungkapkan dalam lingkungan akademik.
“Kampus harusnya malu, bukannya malah bertindak represif. Jika ada kritik, seharusnya mereka introspeksi, bukan memanggil mahasiswa seolah-olah ia telah melakukan kejahatan besar,” sindirnya.
Tindakan Melanggar Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat
Rofiqi mengingatkan pihak kampus bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 serta UU Pendidikan Tinggi. Tindakan represif ini, menurutnya, tidak hanya melanggar hukum tetapi juga menghancurkan kepercayaan mahasiswa terhadap kampus sebagai institusi yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi.
“Jika tindakan ini dibiarkan, jangan harap akan ada ruang bebas di kampus untuk berdialog atau berkreasi. Ini adalah bentuk terburuk dari pembungkaman suara mahasiswa,” katanya dengan nada tegas.
Rofiqi juga menegaskan bahwa PMII UIJ tidak akan tinggal diam. Ia menuntut pihak kampus untuk tidak kembali melakukan tindakan serupa dan memberikan jaminan bahwa ia akan menarik semua sanksi atau intimidasi lanjutan kepada aktivitas-aktivitas yang dapat membahayakan kondisi demokrasi.
“Jika kampus tidak segera bertindak bijak, kami tidak akan segan untuk menggalang aksi solidaritas besar-besaran. Kami akan menunjukkan bahwa mahasiswa tidak bisa dibungkam oleh otoritas yang antikritik!” tegasnya.
Rofiqi juga mengajak seluruh organisasi intra dan semua elemen mahasiswa untuk bersatu melawan tindakan represif ini.
“Kita tidak boleh membiarkan kampus menjadi alat penekan. Kampus adalah tempat bertumbuhnya gagasan, bukan tempat membungkam pikiran,” serunya dengan penuh semangat.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dijaga. Ainur Rofiqi menegaskan bahwa PMII UIJ akan terus berada di garda terdepan untuk melawan segala bentuk tindakan represif yang mengancam kebebasan mahasiswa.
“Mahasiswa bukan budak institusi! Kami adalah agen perubahan, dan kami akan terus melawan ketidakadilan!” pungkas Mantum PMII Rayon Sosial itu.