Islam dan Kebangsaan Kompatibel, Jadi Inspirasi Ruang Publik yang Beradab
Jurnalis: Hanum Aprilia
Kabar Baru, Jakarta – Perspektif keislaman dan kebangsaan saling menopang satu dengan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari UUD 1945 yang disebut sebagai konstitusi yang berketuhanan (godly constitution) yang banyak menyebut frasa Tuhan dan agama.
Islam semestinya menjadi inspirasi hadirnya ruang publik yang berkeadaban.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2014-2024 Wahidudin Adams mengatakan dalam batang tubuh UUD 1945 banyak tertuang mengenai moralitas dan ketuhanan.
Kondisi tersebut, kata Wahidudin, menjadikan UUD 1945 disebut sebagai konstitusi berketuhanan (godly constitution).
“Seluruh undang-undang berjiwa berketuhanan. Peraturan perundang-undangan di awalnya selalu menggunakan kalimat “rahmat Tuhan yang maha esa”, Putusan MK apabila tidak ada kalimat “rahmat Tuhan Yang Maha Esa” maka putusan tersebut tidak sah,” ujar Wahidudin dalam Ramadhan Lecture Movement, Dialog dan Tadarus Kebangsaan “Islam, Kebangsaan, dan Perdamaian” di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (27/3/2024) malam.
Menurut dia, Islam, Kebangsaan dan Perdamaian memiliki kesesuaian satu dengan lainnya. Karena itu, sambung Wahid, ketiganya tidak dapat dipertentangkan satu dengan lainnya.
Dia menyebutkan, Islam memiliki prinsip perdamaian seperti moderasi (tawasuth), toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), adil (ta’adul). “Indonesia adalah religion welfare state, perspektif kebangsaan dan keislaman harus senantiasa digali,” sebut mantan Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM ini.
Dalan kesempatan yang sama pengajar HTN/HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarat Ferdian Andi menyebutkan hubungan agama dan negara memiliki dua aspek yakni aspek formal dan material.
Pada aspek formal, dia menyebutkan negara menjamin dan melindungi umat beragama dalam memluk agama dan kepercayaannya sebagai perintah UUD 1945.
“Ada sikap saling kemengertian dan saling memahmi antara agama dan negara,” sebut Ferdian.
Sedangkan pada aspek material, Ferdian menyebutkan negara belum secara optimal menjadikan agama sebagai inspirasi dalam penyelenggaraan negara.
Dia menyebutkan sejumlah temuan dalam kinerja pemberantasan korupsi, pelaksanaan negara hukum, serta demokrasi di Indonesia yang cenderung stagnan bahkan melorot.
“Indeks persepsi korupsi Indonesia pada tahun 2023 berada di skor 33 dari skala 100, indeks negara hukum 0,53 dari skala 1, dan indeks demokrasi 6,53 dan masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy),” sebut Ferdian.
Sementara Sekjen Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Ryan Hidayat menyebutkan Islam, kebangsaan dan perdamaian tidak bisa dipertentangkan satu dengan lainnya.
Ia menyebutkan mahasiswa menjadi katalisator penggerak dalam isu-isu publik di Indonesia.
Mahasiswa memiliki peran penting dalam mengawal isu keislaman, kebangsaan dan perdamaian.
Ketua Dema Fakultas Syariah dan Hukum Ahmed Najhan Arrohim menyebutkan kegiatan yang digelar merupakan bagian mandat sosial mahasiswa UIN Jakarta untuk senantaisa mendialogkan Islam dan kebangsaan untuk hadirnya ruang publik yang semakin baik.
“Ini bagian dari ikhtiar untuk melahirkan ruang pubik kita menjadi baik,” tandas Najhan.
Kegiatan yang diselenggarakan Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini dihadiri Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Prof. Dr. Kamarusidiana serta dihadiri ratusan mahasiswa UIN Jakarta. Kegiatan dilanjutkan dengan buka bersama.