Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Hari Anak Nasional: Sibuk Merayakan, Tapi Lupa Menyelamatkan 

Penulis: Ketua Korps Muslimah KAMMI (Komaki) Pengurus Wilayah Gorontalo, Ade Safitri Stirman, S.Pd.

Jurnalis:

Kabar Baru, OPINI- Setiap 23 Juli, negeri ini selalu menggelar perayaan bernama Hari Anak Nasional. Di beberapa daerah, anak-anak didandani menjadi pahlawan super, membaca puisi tentang masa depan, dan menyanyikan lagu kebangsaan sambil tersenyum manis. Sebuah pertunjukan yang menggugah haru. Sayangnya, seperti kebanyakan pertunjukan, yang tampak di panggung utama tak selalu mencerminkan realitas di balik tirai. Sebab di hari yang sama, ribuan anak justru tengah menjual kue keliling kampung, memungut plastik dari tumpukan sampah, atau menjaga warung orang tua mereka yang terlalu sibuk bertahan hidup. Tak ada kostum lucu, tak ada balon warna-warni, apalagi puisi tentang cita-cita, yang ada hanya napas pendek dan beban panjang.

Pada 2023, jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 1.01 juta. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah tersebut adalah mereka yang masuk usia 5–17 tahun. Angka ini tentu saja hanya yang tercatat. Kita tahu betul, di negeri ini, yang tak tercatat seringkali lebih banyak adanya. UNICEF juga menyebutkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami putus sekolah, dan pada banyak kasus, justru menjadi tulang punggung keluarga. Sungguh prestasi yang layak diapresiasi, jika saja kita memang berniat mencetak buruh sejak usia dini.

Jasa Pembuatan Buku

Anak-anak ini bukan hanya kekurangan akses ekonomi dan pendidikan, tapi juga tidak tersentuh sistem perlindungan. Mereka hidup di ruang abu-abu. Tidak sekolah, tidak bekerja secara formal, tidak tercatat dalam data bantuan sosial. Bahkan tak jarang mereka justru tak memiliki akta kelahiran, artinya keberadaan mereka belum diakui negara. Mereka hidup, tapi tak dianggap. Dan kalau begini, sistem mana yang siap untuk menyelamatkan mereka ketika terjatuh.

Banyak anak-anak ini lahir dari rahim perempuan-perempuan tangguh yang hidup dalam ketimpangan berlapis. Ibu yang bekerja dari pagi hingga malam. Tak sempat menyuapi anak karena harus menyuapi sistem yang tak pernah kenyang. Komnas Perempuan mencatat, tekanan ekonomi serta lemahnya perlindungan sosial terhadap perempuan menyebabkan pola pengasuhan yang dipaksakan. Anak-anak akhirnya mengurus rumah, merawat adik, menggantikan peran orang dewasa, karena ibu mereka juga tak punya pilihan selain menggantikan peran negara.

Entah ini perihal pola asuh atau bentuk delegasi paksa dari sistem yang gagal mengurus warga miskin?

Di sisi lain, sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman, tempat anak-anak bisa mengenali dunia, dirinya, dan mimpi-mimpinya. Justru pada realitasnya sering kali lebih mirip pabrik penghasil ranking, bukan pusat pembelajaran yang ramah anak. Kurikulum kita berganti setiap rezim terganti, tapi satu hal yang tak pernah berubah, ketidakmampuan sistem untuk memahami bahwa anak bukanlah produk seragam. Apalagi anak-anak dari keluarga marginal yang membawa luka, lapar, dan trauma ke dalam kelas. Mereka dipaksa duduk manis, menghafal, dan dinilai dengan angka. Seolah dunia hanya bisa dimengerti lewat soal pilihan ganda.

Sementara itu, isu kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi bayang-bayang yang dibiarkan samar. Kekerasan verbal, psikis, bahkan seksual kerap terjadi di sekolah, dan hanya segelintir yang diselamatkan oleh mekanisme pelaporan yang layak.

Hari Anak Nasional dirayakan dengan penuh semangat. Tapi seberapa besar efeknya terhadap kebijakan jangka panjang? Apakah perayaan ini mendorong peningkatan anggaran untuk pendidikan anak marjinal? Apakah ada penguatan sistem perlindungan anak dari kekerasan domestik dan eksploitasi ekonomi?

Atau kita hanya sedang menambal luka dengan pita merah muda dan kamera ponsel?

Padahal tingkat kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi. Data KPAI mencatat bahwa sepanjang tahun 2022, terjadi lebih dari 4.000 kasus kekerasan terhadap anak, 2023 sebanyak 3.000 lebih, dan 2024 sekitar 2.000 kasus. Ini pun jumlah yang dilaporkan secara resmi, belum termasuk yang bungkam karena malu atau takut.

Di Gorontalo sendiri, sepanjang tahun 2024 tercatat ada 187 kasus kekerasan anak. Sebuah fakta yang tentu saja mengiris hati, apalagi jika mengingat ini adalah jumlah yang terlaporkan, sementara kita tahu, di sudut-sudut desa, suara anak-anak seringkali ditelan adat, stigma, dan rasa takut. Kekerasan dibungkam oleh budaya diam, dianggap urusan keluarga dan bukan pelanggaran hak. Akhirnya anak-anak tumbuh dalam ruang yang tak sepenuhnya aman, tak sepenuhnya mendengar, dan tak sepenuhnya berpihak pada mereka, sebab dipenjara oleh struktur sosial yang lebih sibuk menjaga wibawa orang dewasa daripada keselamatan jiwa yang masih belia.

Kalau terus begini, pertanyaannya sederhana, Hari Anak ini kita rayakan untuk siapa?

Ironis memang, tapi nyatanya hampir seluruh sudut di negeri ini hanya sibuk menuntut anak menjadi generasi emas, tetapi membiarkan mereka tumbuh di lingkungan yang beracun secara struktural. Kita ingin mereka menjadi pemimpin masa depan, tapi kita wariskan sistem pendidikan yang tumpul, lingkungan keluarga yang rapuh, dan beban ekonomi yang tak adil. Anak-anak berhak menjadi anak. Bukan buruh, bukan pengasuh, bukan pula korban dari sistem yang abai. Mereka berhak menangis tanpa dihukum, bertanya tanpa dibungkam, dan bermimpi tanpa takut dipaksa bangun terlalu cepat. Dan tugas kita bukan sekadar merayakan eksistensi mereka, tapi menyelamatkan mereka dari sistem yang terus-menerus mengikis hak tumbuhnya. Menyelamatkan mereka dari kekerasan yang dijustifikasi sebagai “disiplin”, dari kemiskinan yang diwariskan sebagai “takdir”, dari ketimpangan yang dibungkus dengan kata “pengabdian”.

Jika kita benar-benar ingin merayakan Hari Anak Nasional, mari kita mulai dengan berhenti membohongi diri sendiri. Bahwa anak-anak kita baik-baik saja. Bahwa sistem sudah cukup. Bahwa perayaan cukup menggantikan perlindungan. Sebab anak-anak tidak hanya butuh seremoni. Mereka butuh kebijakan yang hidup, bukan hanya pidato yang nyaring.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store