Banyak Kejanggalan, Akademisi Desak Penyelesaian Perdata Untuk Rosiady

Jurnalis: Nurhaliza Ramadhani
Kabarbaru, Mataram – Kasus hukum yang menjerat mantan Sekretaris Daerah Provinsi NTB, Rosiady Husaenie Sayuti, dalam proyek pembangunan NTB City Center (NCC) terus menuai polemik.
Sejumlah pakar hukum menyatakan bahwa perkara ini lebih tepat diselesaikan melalui jalur perdata dibandingkan dengan pendekatan pidana tindak pidana korupsi (Tipikor).
Senada dengan pendapat para akademisi, Ketua DPP Himmah NWDI, Ilham, juga mendesak agar kasus ini ditangani melalui jalur perdata.
Menurutnya, penggunaan UU Tipikor dalam perkara ini tidak tepat karena inti permasalahan adalah sengketa kontrak, bukan tindakan korupsi yang melibatkan niat jahat atau penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi.
“Jika setiap permasalahan kontrak dalam proyek pemerintah selalu diarahkan ke ranah pidana, maka akan timbul ketakutan bagi pejabat dan pelaku usaha dalam menjalankan proyek pembangunan. Penyelesaian perdata lebih adil karena berfokus pada ganti rugi dan pemulihan hak, bukan penghukuman,” ujar Ilham.
Lebih lanjut, Ilham merujuk pada asas pacta sunt servanda dalam hukum perdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang bersangkutan.
Dalam konteks ini, apabila terdapat pelanggaran terhadap isi perjanjian, maka mekanisme hukum yang seharusnya ditempuh adalah penyelesaian melalui wanprestasi dan bukan kriminalisasi.
Selain itu, ia juga menyoroti konsep lex specialis derogat legi generali, di mana hukum perdata sebagai hukum yang lebih spesifik dalam penyelesaian kontrak seharusnya lebih diutamakan dibandingkan dengan hukum pidana yang bersifat umum.
Dr. Ainuddin, SH, MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar (Unizar), menegaskan bahwa kasus ini seharusnya dipandang sebagai sengketa kontraktual.
Menurutnya, prinsip hukum yang dikenal sebagai teori melebur menunjukkan bahwa keputusan administratif yang berkaitan dengan kontrak seharusnya tetap dalam lingkup hukum perdata.
“Jika sengketa ini berkaitan dengan perjanjian dan pelaksanaannya, maka penyelesaiannya harus dilakukan melalui mekanisme wanprestasi dalam hukum perdata, bukan melalui kriminalisasi dengan menggunakan UU Tipikor,” tegas Dr. Ainuddin.
Dalam kasus NCC, proyek pembangunan mengalami kendala yang mengarah pada perselisihan antara pemerintah dan pihak swasta, yakni PT Lombok Plaza. Objek utama dalam perkara ini adalah kegagalan realisasi pembangunan serta pengalihan hak atas lahan yang berujung pada persoalan wanprestasi.
Jika terdapat kerugian negara, maka mekanisme hukum yang paling tepat adalah melalui gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi, bukan melalui kriminalisasi terhadap pejabat yang menjalankan kewenangan administratifnya.
Pengamat hukum lainnya, Prof. Rahman Hidayat, juga menyoroti pentingnya pemisahan antara ranah perdata dan pidana dalam menegakkan hukum.
“Kriminalisasi atas sengketa perdata dapat menciptakan preseden buruk bagi dunia usaha dan pemerintahan. Jika setiap kegagalan proyek dikategorikan sebagai korupsi, maka akan banyak pejabat yang takut mengambil keputusan, dan ini bisa berdampak pada stagnasi pembangunan,” jelasnya.
Sejumlah pihak mendesak aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menangani perkara ini. Mereka menilai bahwa pemaksaan pendekatan Tipikor dalam kasus NCC dapat mencederai asas keadilan hukum.
Langkah terbaik yang dapat dilakukan adalah membawa kasus ini ke ranah perdata untuk diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa kontrak.
Dengan meningkatnya desakan dari akademisi, pakar hukum, dan organisasi seperti DPP Himmah NWDI, diharapkan ada evaluasi lebih lanjut terhadap jalur penyelesaian kasus ini.
Jika pendekatan perdata yang diambil, maka penyelesaian dapat lebih fokus pada pemulihan aset dan penyelesaian sengketa tanpa merusak reputasi pihak yang terlibat.