TNI-POLRI dan BIN Kuat, Negara Aman Dari Teroris Nakal
Jurnalis: Wafil M
KABARBARU – Kemenangan Taliban menguasai Afghanistan menginspirasi kelompok jihadis Indonesia (kelompok teror berbasis agama). Pasalnya, kemenangan kelompok ekstremisme yang melegalkan kekerasan itu telah memotivasi pihak-pihak yang memiliki relasi dan kedekatan ideologi serta misi yang sama, yaitu cita-cita mendirikan negara Islam. Karena itu, euforia kemenangan ini dirayakan oleh kaum jihadis Indonesia untuk membangkitkan semangat kelompok radikal ekstremis yang punya kesamaan cara pandang maupun kedekatan ideologis.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencium gerakan kelompok jihadis yang sedang menggalang simpatisan pasca kemenangan Taliban di Afghanistan. Di jagat digital, kelompok radikal yang punya kedekatan ideologi dengan Taliban tengah gencar menggalang simpatisan untuk memperkuat basis dukungan. Kelompok ini memanfaatkan medsos sebagai instrumen dalam menyebarkan ideologi yang dianut. Belum lagi relasi lain yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam rangka merekrut anggota baru.
Di akui atau tidak, kemenangan Taliban menguasai Afghanistan adalah pertanda bangkitnya kembali kaum jihadis berbasis agama yang berpotensi besar mengancam integrasi dan keutuhan negara. Atas dasar itulah, aparat penegak hukum TNI-Polri dan BIN tak cukup sekedar menditeksi atau mengambil langkah antisipasi, tetapi harus menumpas pendukung maupun pihak yang terkait dalam gerakan yang berideologi transnasional tersebut.
Demi untuk merawat persatuan dan menjaga kebhinnekaan kita, maka tak ada lain kecuali menumpas gerakan tersebut meminjam istilah Ahmad Sahroni. Sebab bila dibiarkan pelan-pelan kelompok ini akan membahayakan.
Akar Terorisme dan Format Ideal Penanganannya
Pasca kemenangan Taliban menguasai Afghanistan, pelbagai pihak khawatir akan dampaknya terhadap Indonesia. Kekhawatiran itu semakin jelas ketika euforia kemenangan Taliban disambut dengan suka cita oleh pendukung maupun pihak-pihak yang memiliki relasi ideologis dan perjuangan yang sama. Seperti JI, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Beberapa anggota jamaah ditangkap aparat Kepolisian karena terlibat dalam kasus teror bom yang terjadi di Indonesia. Bahkan yang terbaru, Densus 88 berhasil membongkar jaringan terorisme dengan menyita kotak amal yang selama ini menjadi sumber pendanaan Jamaah Islamiyah (JI). Ada lima puluh orang terduga teroris yang ditangkap. Itu menunjukan bahwa terorisme di Indonesia ancaman nyata yang harus ditumpas benih-benih pergerakannya. Salah satu di antaranya adalah dengan menumpas kemunculan kelompok radikal pendukung Taliban.
Ikwal, terorisme di Indonesia ibarat pohon pisang, jika ditebang satu berikutnya tumbuh lagi. Pun ketika ada tragedi teror bom yang melibatkan teorisme kita hanya pandai mengutuk dan mengecamnya. Tapi kita kerap abai pada ‘sebab musabab’ dan lupa mencari akar dari problem kemunculan terorisme. Tak hanya itu, kita juga acuh tak acuh mencari format ideal penanggulangan dan penanganan terorisme di Indonesia. Padahal kita butuh format ideal dan formula baru dalam konteks mencegah dan menghentikan bibit-bibit generasi baru terorisme. Selama ini kita tidak hanya gagal mencegah dan menghentikan aksi terorisme, tetapi memutus dan menumpas jaringan terorisme kerap mengalami kegagalan serupa. Karena itu, perang melawan terorisme terus menemui jalan terjal. Pendekatan hukum dan deradikalisasi nampaknya tak cukup meski upaya penanggulangan terorisme telah maksimal dilakukan, tetapi belajar dari kegagalan itulah, maka perlu mencari formula baru selain penguatan regulasi dan pendekatan program deradikalisasi di atas.
Pada dasarnya, perang melawan terorisme adalah agenda dunia internasional. Dalam konteks Indonesia, kita menggunakan pola dan pendekatan yang berbeda dalam penanggulangan dan penanganan terorisme. Tentu sebelum merumuskan pola dan menemukan format ideal penanggulangan dan penanganan terorisme, sebaiknya mencari akar kemunculan terorisme. Setidaknya ada beberapa faktor akar penyebab suburnya terorisme di Indonesia. Yaitu faktor ideologi, pendidikan, kemiskinan, kondisi sosial yang tidak baik, terampasnya akses politik dan ekonomi Muslim. Juga agenda melawan dominasi dan diskriminasi global. Selain itu, cara menafsirkan teks keagamaan yang sempit sehingga cenderung dipahami secara ekstrem.
Pada titik inilah, penanganan terorisme selain membutuhkan penguatan regulasi dan penguatan program deradikalisasi, juga dibutuhkan sinergi dan kolaborasi dengan pelbagai elemen civil society. Antara lain pelibatan pondok Pesantren dan kelompok millenial yang memiliki literasi keagamaan mumpuni dan mendalam. Mengapa millenial penting dilibatkan dalam upaya penanggulangan dan perang melawan terorisme karena pendekatan yang dilakukan terorisme lebih banyak memanfaatkan medsos sebagai sarana propaganda dalam mengkampanyekan doktrin dan merekrut kader alias calon teroris.
Dalam konteks ini, milenial setidaknya bisa mengambil peran, karena dengan kemampuan literasi keagamaan yang dimiliki, setidaknya millenial dapat melakukan hal serupa, yaitu membuat narasi dan konten-konten positif sebagai conter-narasi atas aksi-aksi terorisme di medsos. Demikian juga pelibatan pesantren juga amat penting, karena di Pesantren sesungguhnya diajarkan beragam pemahaman keagamaan moderat yang anti intoleransi dan anti kekerasan. Artinya, pesantren punya peran penting dalam upaya mencegah dan melawan terorisme. Setidaknya melalui pembelajaran keagamaan yang berbasis moderasi, paling tidak punya dampak signifikan dalam upaya pencegahan bibit-bibit baru terorisme.
Oleh : Romadhon Jasn
(Direktur Millenial Mitra Polisi)