Respon Mahasiswa Madura di Yogyakarta; Kecam Pemerintah dalam Pelarangan Jam Operasional 24 jam Warung Madura
Jurnalis: Wafil M
Kabar Baru, Yogyakarta – Polemik pelarangan jam operasional 24 jam warung Madura yang terjadi di Bali masih hangat diperpincangkan, salah satunya di respon oleh forum mahasiswa asal Madura di Yogyakarta. Polemik tersebut direspon dengan mengadakan Diskusi Ekonomi Kerakyatan “Pengayom Wong Cilik Mencekik Pelaku UMKM” pada Jumat (03/05) di Caffe Bento Sorowajan Yogyakarta.
Ach Nurul Luthfi, Ketua Umum Forum Silaturahmi Mahasiswa Keluarga Madura Yogyakarta (FSM KMY), mengecam dan mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap usaha kerakyatan seperti toko kelontong Madura. Kejadian di Bali menjadi bukti nyata bahwa pemerintah masih sangat kurang dalam memperhatikan kesejahteraan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan keberpihakannya cenderung kepada pemilik modal yang lebih besar atau masih timpangnya kepentingan relasi kuasa bisnis.
“Negara hari ini tidak maksimal menjalankan kewajibannya dalam memenuhi hak ekonomi rakyatnya khususnya pelaku usaha mikro. Padahal, perputaran ekonomi Indonesia masih didominasi dan ditopang oleh usaha-usaha kerakyatan” tegas Luthfi dalam Open Speaker di Diskusi Ekonomi Kerakyatan.
Maka dari itu Luthfi menghimbau agar mahasiswa Madura yang di Yogyakarta bergerak bersama untuk membela UMKM warung kelontong Madura. Tidak sedikit dari mahasiswa di Yogyakarta mempunyai usaha warung Madura sehingga bisa membayai kebutuhan pendidikan termasuk kuliah.
Syaifuddin, Dosen Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan bahwa tidak ada satupun peraturan di Indonesia termasuk Perda Klungkung No 13 tahun 2018 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan, yang melarang warung Madura membuka jam operasional hingga 24 jam.
Menurut Syaifuddin, dalam Perda Klungkung Pasal 4 ayat 1 dan 2 yang menjadi kontroversi, bahwa warung Madura tidak termasuk usaha Minimarket, Hypermarket, Departement Store dan Supermarket. Sehingga aturan tersebut tidak berlaku atau mengikat terhadap usaha mikro, kecil dan menengah termasuk warung Madura. Artinya, secara asas legalitas jika tidak ada peraturan yang melarang maka hal tersebut diperbolehkan menurut hukum.
“Secara yuridis dari peraturan atas hingga bawah tidak ada yang melarang warung Madura buka 24 jam” jelas Saifuddin, Narusumber Diskusi Ekonomi Kerakyatan “Pengayom Wong Cilik Mencekik Pelaku UMKM”.
Lanjut Syaifuddin, dalam teori kapitalisme dan leberalisasi ekonomi bahwa pemilik modal yang kuat akan menindas yang lemah. Sehingga butuh intervensi dari negara untuk menjadi pelindung usaha-usaha kecil milik rakyat. Bukan malah negara berpihak kepada kapitalis tetapi justru mematikan dan mengkerdilkan usaha-usaha kerakyatan.
Narasumber lainnya, Bhima Yudhistira Adhinegara Executive Direktor Celios menilai pemerintah kurang kerjaan dengan mengusik UMKM warung Madura yang sejatinya usaha berbasis kerakyatan dan kekeluargaan. Padahal, pelaku warung madura tidak pernah mempermasalahkan Minimarket, Hypermarket, Departement Store dan Supermarket atas keberadaan mereka dan justru bersaing bisnis dengan fair dan jujur.
“Kenapa pemerintah malah mengusik warung Madura yang berbasis kekeluargaan kan mereka tidak pernah mempermasalahkan ritel modern. Kurang kerjaan aja pemerintah” Tutur Bhima.
Menurut Bhima, secara data ada 3 juta UMKM toko kelontong di Indonesia yang seharusnya pemerintah memberdayakan karena bisa membangun perekonomian dan membuka lapangan kerja mulai dari pabrik hingga penjaga toko. Tidak hanya itu, Bhima melihat tidak ada alasan logis pemerintah melarang atau mengatur UMKM toko kelontong. Pada dasarnya mereka belajar bisnis secara otodidak, bermodal probadi dan managemen sendiri, tidak ada campur tangan pemerintah dalam menjalankan usahanya.
“Tanpa pemerintah, warung Madura masih bisa eksis dan hidup namun sebaliknya tanpa warung madura, pemerintah akan rugi” tegasnya.
Padahal kata Bhima, ada anggaran untuk UMKM seperti pelatihan, sosialisasi, penyuluhan hukum dan digitalisasi tetapi tidak mengalir ke warung Madura. Sehingga bisa dipertanyakan anggarannya kemana dan buat apa dan dengan itu warga negara bisa menagih ke pemerintah dalam hal ini Kementrian Perdagangan RI.
Ketua Umum Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) Jugil Adiningrat, mengatakan polemik ini bisa dijadikan momentum untuk konsolidasi bagi para pelaku UMKM warung Madura dengan mengakomodir kepentingan bersama. Salah satunya agar keperpihakan pemerintah lebih memprioritaskan UMKM serta memperdayakannya.
Selain itu, menurrut Jugil tidak ada cara lain untuk memulihkan ekonomi dari resesi dan inflasi kecuali dengan menghidupkan UMKM. Jadi, tidak ada pilihan dan alasan bagi birokrasi pemerintah untuk tidak memberdayakan dan mendukung keberlangsungan UMKM.
“Jika pemerintah tidak berpihak kepada UMKM berarti siap-siap resesi dan inflasi ekonomi akan melanda Indonesia” Tegas Jugil.
Harapnya kata Jugil, ada regulasi yang benar-benar nyata berpihak kepada UMKM khususnya di Provinsi Dearah Istimewa Yogyakarta. Jangan sampai pemerintah mengedepankan kelompok pemilik modal menengah keatas dalam menjalankan kepentingan bisnisnya.