Pemuda yang Berkebudayaan; Memperkuat Akar dan Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Sebelum beranjak jauh, mula-mula penulis ingin mengucapkan selamat hari sumpah pemuda untuk seluruh manusia yang mengaku sebagai kaula muda Indonesia.
Penulis mengira, bahwa secara kajian dan fakta historis penulis tak harus berbicara secara sangat detail tentang sumpah pemuda dan atau hari santri nasional, sebab terlalu banyak buku-buku, tulisan-tulisan (dan semacamnya) yang sudah terhidang untuk kemudian menjadi landasan berpikir atau sarana memperdalam khazanah intelektual kita semua. Barangkali yang lebih urgen untuk kita semua renungkan ialah soal refleksi; tentang klaim kepemudaan kita semua lewat momentum hari santri nasional (bagi yang santri) dan terlebih pada momentum hari sumpah pemuda.
Ada sebuah ungkapan dalam sastra arab yang bunyinya kira-kira begini: “syubbanul yaum rijalul ghod”, yang artinya, “pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan”. Ungkapan tersebut secara eksplisit mengabarkan bahwa kita-kita yang muda hari ini ialah pemegang tahta estafet masa depan. Pemegang estafet dalam hal apapun, yang intinya adalah pemegang arah gerak bangsa kita Indonesia dan yang lebih jauh adalah pemegang warisan tahta peradaban dunia.
Lewat ungkapan yang penulis sebutkan dimuka, maka pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul atau diajukan hari ini tentang bagaimana perjalanan bangsa dan peradaban kedepan, yang mempunyai kewajiban secara moril untuk menjawab adalah manusia yang mengaku sebagai pemuda.
Mengapa demikian? Sederhana menjawabnya, sebab pemuda lah yang diwariskan oleh sejarah untuk menjawabnya. Sesederhana itu. Sukarno beserta para founding father lainnya sebetulnya telah menelurkan jawabannya, tetapi begitulah hidup, waktunya terbatas. Budiman Sudjatmiko mengungkapkan dalam bukunya Anak-anak Revolusi, bahwa tak ada yang lebih buas daripada waktu.
Tetapi dengan waktu yang terbatas, ada ibrah (pembelajaran) yang dapat dipetik, bahwa dalam setiap kehidupan ada fasenya. Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Waktu telah mendidik kita tentang kaderisasi; kaderisasi kehidupan. Maha besar Tuhan dengan segala konsep dan konsepsinya yang tak kan kalah sempurna dari apapun. Sebab Dia lah awal dari kata apa, siapa dan bagaimana. Ia ada tanpa harus kata apa, siapa dan bagaimana itu ada. Tanpanya, tak kan ada apa, siapa dan bagaimana.
Sebetulnya untuk merefleksikan kepemudaan kita tak harus menunggu hari sumpah pemuda tiba, selama hayat masih dikandung badan kehidupan kita wajib selalu direfleksikan. Tetapi paling tidak, merefleksi diri dalam hari-hari momentual dengan kegiatan-kegiatan positif –menulis misalnya– adalah ajang menjadikan hari-hari momentual sebagai upaya melahirkan proyeksi bagi kita semua agar bisa to the next level.
Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kita sebagai kaum muda, baik yang disengaja atau tidak disengaja, disadari atau tidak disadari. Sebab kita memang bagian dari masalah. Banyak hal yang bisa kita sebutkan, mulai dari hal-hal sederhana seperti virus game online, penggunaan teknologi (gadget misalnya) secara berlebihan, sampai pada persoalan-persoalan yang –lumayan– pelik seperti modernisasi dan liberalisasi yang beda tipis, kapitalisasi dalam banyak sektor dengan dalil pembangunan dan masih banyak hal lainnya yang tak disebutkan. Tetapi paling tidak penulis dalam tulisan ini menaruh perhatian besar atau melimitasi pembahasan pada dua hal, yakni soal kebudayaan.
Pemuda dan Kebudayaan
Kita tak perlu malu-malu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang besar, bangsanya bangsa yang besar. Faktanya memang demikian. Sebab Indonesia memang warisan kejayaan Nusantara. Bangsa yang bahasanya berbeda, adat istiadatnya berbeda, agama dan kepercayaannya berbeda, bahkan warna kulitnya (juga ada) yang berbeda, tetapi mereka terhimpun di dalam satu kesatuan. Hanya di Indonesia, perbedaan-perbedaan itu berbuah kesatuan dan kekuatan yang berlipat ganda. Satu-satunya kekuatan yang paling mahal di dunia ini ada di Indonesia.
Lewat perbedaan-perbedaan itulah pemuda menemukan momentumnya lewat peristiwa sumpah pemuda. Pemuda-pemuda yang tercerahkan itulah yang menghimpun ide dan gagasan persatuan lalu kemudian menemukan konsensus nasional. Bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu. Meski jauh sebelum itu kebudayaan Nusantara yang luhur itu telah lahir, peristiwa sumpah pemuda adalah salah satu afirmasi yang kuat bahwa kebudayaan kita adalah kebudayaan yang luhur.
Jika mengutip perspektif Edward Burnett Tylor (1832-19721), kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Tetapi yang kita lihat dalam kehidupan dewasa ini ada pergeseran nilai yang cukup signifikan, khususnya dalam hal kebudayaan. Penulis bisa mencontohkan secara sederhana, bagaimana anak muda zaman dewasa ini menggunakan bahasa Indonesia yang (maaf) kurang baik dan benar. Bahasa Indonesia yang kian kalah dengan bahasa daerah masing-masing, bahasa Indonesia yang kehilangan marwah di hadapan bahasa Inggris, bahasa Indonesia yang kehilangan jati diri di bangsanya sendiri. Apa pembaca tak pernah mendengar ataupun melihat bagaimana masyarakat (terlebih) kaum muda melantunkan bahasa Indonesia secara campur aduk dengan bahasa Inggris dengan dalil modernitas? Agar dianggap gaul misalnya. Bahasa yang di Indonesia “minder” telah bergeser menjadi “insecure”, dan banyak lagi lainnya. Hal tersebut adalah hal yang barangkali banyak orang menganggapnya remeh dan kecil, tetapi secara kebudayaan sangat berdampak.
Ataupun juga sebaliknya, kaula muda yang minder menggunakan bahasa daerah dimana ia dilahirkan karena takut dianggap ‘ndeso’. Bahkan yang lebih menyayat hati, penulis menemukan beberapa kawan yang aktif sebagai duta-duta kedaerahan tetapi (maaf) dia tak mumpuni dalam bahasa daerah. Misal dalam konteks bahasa Madura bahasa “engghi bhunten”.
Duta-duta kedaerahan atau paguyuban duta-duta kedaerahan dibentuk dengan visi bagaimana daerah tersebut go nasional atau go internasional, tentu segala hal tentang daerahnya wajib ia kenalkan atau ia sajikan kepada khalayak ramai. Namun bagaimana mau menyajikan informasi kedaerahan? Jika salah satu unsur pokoknya saja dianggap tak penting. Bahasa adalah unsur pokok, menghilangkan bahasa (khususnya bahasa daerah) adalah mencabut Indonesia dari akarnya. Hal ini secara gamblang menggambarkan bagaimana pergeseran nilai itu terjadi dan benar adanya. Duta-duta kedaerahan yang diharapkan seperti harapan yang penulis sebutkan dimuka malah hanya menjadi ajang objek kapitalisasi manusia, unjuk kecantikan, dan sejenisnya–tapi disaat yang bersamaan kehilangan ruh kedaerahan yang luhur. Memang tak semua, tapi beberapa yang penulis temukan itu cukup sebagai bukti bahwa penulis tak sedang mengarang. Satu bukti akan menimbulkan keresahan, yang merasa resah adalah mereka yang berpikir bagaimana jika satu bukti tersebut tidak benar-benar satu, tapi lebih banyak daripada yang dipikirkan. Adapun contoh-contoh yang lainnya silahkan pembaca tambahkan sendiri.
Penulis tidak sedang mempermasalahkan masyarakat yang cakap dan nyaman dalam menggunakan bahasa asing, tetapi yang perlu kita ingat bahasa daerah yang berbeda-beda adalah bukti kekayaan bangsa Indonesia yang kemudian kita integrasikan menjadi satu kesatuan menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah benang merah sebagai penyambung di tiap-tiap lubang pemisah diri kita. Kita yang semula terpisah-pisah dijahit menjadi satu kain berwarna merah putih. Dan lewat kain tersebut lah segala yang beda dari kita semua terhimpun menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan dikalahkan.
Zaman memang terus berjalan, namun segala unsur modernisasi tak semua harus kita aminkan. Sebagai bangsa yang besar dan kaya kita punya hak untuk mempertimbangkan segala hal termasuk mempertimbangkan apa-apa yang pantas kita konsumsi dan apa-apa yang tak pantas kita konsumsi, tentang apa-apa yang pantas kita kenakan dan apa-apa yang tak pantas kita kenakan. Kedudukan bahasa nasional kita (bahasa Indonesia) sama dengan bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Tak perlu ke-inggris-inggris-an jika hanya untuk diakui sebagai manusia modern. Kita hanya menghargai dan mempelajari bahasa negara lain (the others) karena hal itu menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, bukan untuk menjiplak secara keseluruhan. Apalagi bahasa Inggris adalah bahasa yang secara umum digunakan dalam kehidupan internasional. Tetapi itu bukan alasan untuk mendudukkan bahasa Indonesia dibawah bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya termasuk bahasa arab. Jika ditanya lebih mahal mana bahasa Indonesia (beserta bahasa daerahnya) dengan bahasa asing? Harganya jauh lebih mahal bahasa Indonesia. Lebih penting mana bahasa Indonesia dengan bahasa asing? Jawabannya sama-sama penting untuk kepentingan interaksi di zaman dimana semua serba tersambung.
Jika kita bertandang ke halaman rumah orang lain maka menjadi kewajiban bagi kita untuk menghormati dan mempelajari segala hal tentang daerah tersebut, termasuk bahasanya. Begitupun sebaliknya, jika orang lain bertandang ke halaman rumah kita, seharusnya mereka yang belajar dan menghargai segala hal tentang kita. Hassan Hanafi, seorang intelektual muslim terkemuka pernah berkata, kita tak boleh membungkukkan badan kita dan menjadi pengekor pada kebudayaan bangsa lain (dalam konteks Hassan Hanafi adalah otokritik dia kepada bangsa timur yang kebarat-baratan), jika dikontekstualisasikan hal tersebut masih menemukan relevansinya. Pasalnya, dalil-dalil modernisasi yang kerap kali kita dengar kerap kali berbarengan dengan agenda hegemoni, termasuk hegemoni politik dan kebudayaan.
Fenomena yang lain daripada itu, pergeseran nilai yang sangat bisa dilihat adalah soal kekeluargaan yang output secara lahiriahnya adalah gotong royong dan output secara batiniahnya adalah sambung menyambung secara batiniah antara satu dan lainnya, antara yang muda dan yang lebih tua, dan lainnya. Dahulu, kekeluargaan sangat penting harganya, karenanya orang-orang zaman dahulu jarang lepas antara satu sama lain. Jangankan kepada yang sesama hidup, kepada yang sudah matipun dijaga hubungannya. Hal itu dimulai dari pendidikan sejak dini dimana orang tua mengajarkan anaknya tentang kekeluargaan dan persaudaraan. Siapa nama kakek neneknya, buyutnya, saudara-saudaranya dan siapa saja yang masih bersentuhan dengannya.
Hari ini, hal itu mulai sirna. Kita kaum muda menjelma manusia-manusia individualis. Jangankan kepada kakek nenek dan buyut, kepada saudara-saudara kita saja kita cenderung abai. Kepada saudara sepupu misalnya. Barangkali banyak orang menganggap hal ini enteng dan remeh, tetapi lagi-lagi ini adalah hal yang sangat penting dan mahal. Kekeluargaan dan persaudaraan adalah fondasi kita sebagai bangsa, kita tak kan menjadi bangsa yang besar jika sikap kekeluargaan dan persaudaraannya tak dijaga. Sebab dari keluarga kecil inilah yang akan membuat kita sadar bahwa hidup di dunia tak dapat dilakukan sendirian, apalagi membangun peradaban, butuh kesepahaman antara satu sama lain untuk membangun peradaban dan menjaga jagat raya yang sama-sama kita tempati. Sederhananya, “From family and home fraternity to universal brotherhood”. Memulai dari yang terdekat untuk menggapai yang lebih jauh, memulai dari lingkaran yang terkecil untuk menggapai lingkaran yang lebih besar.
Sehingga barangkali kita semua memang sadar bahwa ada hal yang tergeser dari diri kita sebagai bangsa dan sebagai pemuda tetapi kita tidak beranjak dari titik persoalan ke titik solusi yang konstruktif.
Sebagai pemuda yang diwariskan oleh sejarah untuk melanjutkan cita-cita kebangsaan, kita semua tak boleh abai terhadap apapun yang terjadi pada bangsa kita sendiri, Indonesia.
Kebudayaan ialah seperti jangkar dari suatu bangsa, jika suatu bangsa kehilangan jangkarnya maka ia akan kehilangan arah. Arahnya barangkali ada karena dibantu kompas, tetapi ia akan kebingungan kemana dan dimana ia akan berlabuh. Pun juga pemuda yang berkebudayaan berarti ia mempunyai jangkar yang kuat, hal itu akan menjadi identitas, watak dan karakternya dari buayan ibunya sampai ke liang lahat. Pemuda yang mempunyai jangkar kebudayaan akan bisa hidup dengan elastis dimanapun tanpa membuang identitas, watak dan karakternya. Ia tak kan mudah terombang-ambing. Bagaimana membentuk pemuda yang berkebudayaan? Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya pembentukannya, penulis beranggapan bahwa bagian yang terpenting dalam upaya pembentukan watak dan karakter suatu bangsa adalah dengan pendidikan; pendidikan yang berkebudayaan.
Nampaknya kita perlu merenung dan berani melihat sistem dan pola pendidikan kita yang kian liberal dan kapitalistik. Pendidikan yang oleh Bung Hatta diharapkan bisa dinikmati oleh tiap-tiap rakyat Indonesia ternyata tak semua bisa mengaksesnya, butuh akumulasi kapital finansial keluarga yang mumpuni. Sistem pendidikan nasional hari ini terkesan maju dengan slogan “merdeka belajar”, tetapi di sisi lain ada ribuan bahkan jutaan guru honorer yang menunggu apresiasi negara yang tak kunjung datang. Slogan merdeka belajar adalah bukti dari pemangku kebijakan terkait tentang komitmennya dalam membentuk sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Tetapi kita perlu bertanya, sumber daya yang sedang disiapkan adalah untuk kepentingan siapa? dan diproyeksikan untuk apa? Tentu harapan kita jawabannya adalah tidak hanya semata-mata untuk kepentingan industri tetapi juga untuk merawat keutuhan bangsa Indonesia yang akan menghadapi bonus demografi 2045 yang dimana kehidupan pada masa itu akan lebih didominasi oleh penduduk yang berusia produktif. Jika pendidikan hanya diorientasikan pada kebutuhan pasar (industri) maka secara gamblang kita hanya dicetak menjadi manusia pengabdi korporasi, manusia pekerja dan sejenisnya. Hal itu memang tak dapat dihindari karena seiringan dengan peperangan ekonomi dunia, tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah membentuk manusia yang Nusantara atau manusia yang Indonesia. Manusia yang tak ketimur-timuran atau kebarat-baratan. Manusia yang memiliki value khas DNA bangsa Indonesia. Manusia yang ditempatkan dimanapun dan bersama siapapun serta dalam bidang apapun tetap berjiwa Indonesia, yang meski darahnya tumpah sekalipun tak pernah sedikitpun berpikir untuk menjual jati diri bangsanya.
Tentu ini adalah tugas besar dan pekerjaan panjang untuk kita semua, butuh komitmen yang kuat antara pemerintah dan stakeholder lainnya termasuk kaum muda. Butuh kerja-kerja kolaborasi antara banyak pihak agar pekerjaan ini sama-sama dipikirkan dan diselesaikan bersama dari hulu ke hilir.
Mari kembali selami keindonesiaan kita, kita internalisasikan keindonesiaan kita pada tubuh dan rohani kita masing-masing. Mari buktikan bahwa kita bangsa Indonesia dan khususnya pemuda bangsa Indonesia tidak kemana-mana tetapi ada dimana-mana. Jangan lelah untuk mencintai Indonesia!
Tulisan ini adalah sebagai pembuka cakrawala kita tentang realitas kehidupan kepemudaan dan kebudayaan kita. Tentu ini bukan akhir, tulisan ini adalah pembuka daripada diskursus dan tulisan-tulisan yang selanjutnya. Penulis berniat untuk melanjutkan tema pemuda yang berkebudayaan ini di part-part selanjutnya, semoga saya dan anda semua yang membaca selalu dikuatkan oleh Tuhan dalam menjalankan tugas sebagai Khalifah dimuka bumi ini khususnya tugas sebagai pemimpin masa depan Indonesia. Tabik!
*) Penulis adalah Haidar Ali Muqaddas (Pengurus PW IPNU Jawa Timur & Founder Madura Communicate).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co