Luar Biasa! Kesabaran Presiden Prabowo Sedang Diuji

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Perjalanan awal kepemimpinan Presiden Prabowo terlampau berat. Temuan kisruh tambang Nikel di Raja Ampat dan polemik empat pulau pindah dari kepemilikan Provinsi Aceh menjadi pengelolaan Bersama dengan Provinsi Sumatera menjadi menjadi bahan di kantong-kantong pewacanaan media sosial.
Masyarakat tidak puas dengan pernyataan masing-masing Menteri yang bertanggung jawab menjelaskannya yakni Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM. Pengambilan alih masalah tambang Raja Ampat oleh Presiden Prabowo menegaskan dua hal. Pertama, soliditas atas visi misi presiden untuk mengamankan potensi sumber daya alam untuk Masyarakat bisa dipertanyakan. Kedua, adanya informasi mendalam yang seolah terpisah (dipisahkan) dari detail pengetahuan presiden. Padahal sudah jelas, Indonesia salah satu negara dengan konstitusi yang mendeklarasikan diri sebagai negara kesejahteraan, menggunakan konstitusi ekonomi untuk mengimbangi ketiga pilar politik modern.
Pita informasi nampak hilang dan tidak sampai ke presiden. Tatanan Konstitusi ekonomi dirusak oleh kepemilikan eksplorasi di lokasi wisata populer mancanegara itu. Namun, menurut Charles A. Beard (2004), pembentukan sebuah konstitusi biasanya disertai dengan perselisihan tentang kepentingan ekonomi di antara para pendukung dan penentangnya. Perselisihan ini terjadi dalam paradigma ekonomi negara ideal.
Sumber daya alam akan berdampak buruk pada masyarakatnya jika tidak diolah dan ditangani dengan bijak. Pada tahun 1993, Richard Auty pertama kali menggunakan istilah “Kutukan Sumber Daya Alam”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan negara-negara yang kaya akan SDA tetapi tidak dapat meningkatkan ekonomi mereka.
Studi yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A Robinson tentang “Why Nations Fail” memberikan sindiran yang tepat untuk para pemimpin kita di masa lalu. Seperti yang dia katakan, elit negara hanya ” just too happy to extract resources” sehingga negara gagal.
Belum lagi keputusan Menteri Dalam Negeri RI Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau sehingga mengikis kepercayaan antar kepala daerah provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Minimnya kepercayaan publik atas proses komunikasi pejabat Kemendagri menyeret presiden mengambil alih penuh masalah ini.
Bertaruh Kepercayaan
Fakta menunjukkan bahwa negara maju memiliki masyarakat yang mempercayai satu sama lain (interpersonal trust) dan mempercayai pemerintahannya (institutional trust) high trust society. Kebalikannya, negara berkembang dikarakteristikkan sebagai low trust society.
Saatnya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Karena “ketidakpercayaan” telah berlangsung begitu lama, jelas bukan perkara mudah. Menurut Francis Fukuyama, kepercayaan adalah keyakinan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh perilaku yang jujur, teratur, dan kerja sama yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial mengacu pada gagasan bahwa dalam masyarakat yang saling mempercayai, aturan sosial cenderung positif dan hubungan cenderung bekerja sama.
Pemerintahan Presiden Prabowo bisa saja berjalan pincang karena disibukkan dengan masalah domestik yang diakibatkan dari proses kebijakan dan komunikasi tak transparan. Ketegasan dan kepercayaan terkadang duduk terpisah namun, publik melihatnya harus segera diwujudkan. Dua masalah di awal bisa dijadikan poin kegagalan transformasi komunikasi dari jajaran kabinetnya.
Presiden bertanggung jawab kepada menteri. Setidaknya mereka dapat berkomunikasi. Pertama, kemampuan untuk menyampaikan pikiran Presiden, termasuk mengklarifikasi kemungkinan bias melalui analisis politik, ekonomi, dan keamanan. Kedua, kemampuan untuk mengelola konflik sehingga setiap musuh mendapatkan dukungan. Peran ketiga berfungsi sebagai pedoman untuk pekerjaan birokrasi dan menanggapi semua kritik dengan melakukan pekerjaan pelayanan nyata.
Keempat, memiliki kemampuan untuk mengubah perasaan Presiden menjadi inspirasi untuk komunikasi publik yang terus-menerus, daripada hanya menyuarakan perasaan presiden. Harus diingat bahwa menjadi emosional saat menerima kritik terus-menerus dari presiden di ruang pribadi adalah sesuatu yang wajar.
Martabat Presiden
Presiden bermetamorfosis menjadi makhluk tafsir. Pada saat ini, segala tindakan dan perilaku presiden berfungsi sebagai sumber informasi, yang memungkinkan interpretasi. Di sini, ucapan presiden telah melampaui batas-batas politik. Menurut John Fiske (1990), komunikasi presiden telah berkembang dari komunikasi praksis-politik ke ranah signifikansi.
Presiden menciptakan makna daripada sekadar kumpulan pesan. Pemaknaan dan ketepatan makna tidak pernah dimiliki seseorang atau kelompok tertentu dalam komunitas tafsir. Karena itu, Fiske menyatakan, “Tidak pernah ada tafsir yang salah; selalu ada tafsir yang berbeda.” Kebenaran tafsir didasarkan pada metodologi.
Presiden di hadapan 250 juta lebih warga Indonesia, di dalamnya pasti ada pujian setinggi langit dan cercaan seperti securam palung di lautan. Keduanya memiliki nilai, baik dan buruk. Dengan cara yang berbeda, ia memberikan makna bagi masa jabatan presiden. Selain itu, dalam konteks intrik politik. Seorang politisi harus memahami bahwa menghadapi risiko politik dalam situasi terburuk.
Sangat penting untuk membangun rasionalitas naratif, menurut pakar Walter Fisher (1987). Dia percaya bahwa tidak semua cerita memiliki kekuatan yang sama untuk dipercaya. Dia mengidentifikasi dua dasar rasionalitas naratif: koherensi (coherence) dan kebenaran (truth). Saat orang yang membangun dan mengembangkan cerita dapat menyajikannya dengan runtut dan konsisten, koherensi akan muncul.
Ketika sebuah cerita diceritakan kepada publik, ia seringkali kontradiktif dengan cerita yang diceritakan sebelumnya atau sesudahnya, terutama dalam hal substansi penting pesan. Ketika narasi menjadi tidak konsisten secara struktural, itu disebut sebagai narasi yang tidak teratur dan membingungkan publik mana yang benar dan mana yang salah.
Jalan presiden Prabowo masih panjang, pekerjaan dalam dan luar pada saat sama-sama saling terkait. Kita berharap apa yang terjadi pada cerita paling populer pada pemerintahan Ronald Reagan (1981-1989) lalu yang terkenal dengan ”Reaganomic”-nya, yang mampu memberi citra ”impian kesejahteraan Amerika” tidak terjadi pada Presiden Prabowo. Reagen dulu pernah dianggap mampu melahirkan renaisans ideologi Amerika meski sesungguhnya kapasitas individu serta prestasinya tidaklah luar biasa.
Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam pemerintahan, bukankah sudah diketahui bahwa Presiden telah memperingatkan, bahkan beberapa kali bernada “kesal” kepada para menterinya. Ada kemungkinan mereka tidak cekatan saat mendengarkan pengarahan, tidak sigap dan serius menangani masalah mendesak, atau terlambat memberikan laporan.
Jika kekuasaan Presiden tidak disertai dengan kebijakan nyata, persepsi kemarahan tersebut hanya akan menjadi komponen tambahan politik dalam desain pencitraan. Bisa jadi Presiden ingin menunjukkan bahwa dia telah bekerja keras, tetapi para pembantunya lah yang kurang tanggap dan mampu menerjemahkan kebijakan umumnya. Atau terdapat kesan seolah-olah menegaskan bahwa kegagalan pemerintahan adalah tanggung jawab pembantunya, bukan Presiden. Wallahualam.