Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Ketahanan Pangan dan Ironi Ketergantungan Impor 

Penulis adalah Fahrul Rojik, Founder Sekawanesia.

Editor:

Kabar Baru, Opini – Negara agraris seperti Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang berdaulat pangan. Namun, hingga kini ketergantungan pada impor, ketimpangan penguasaan lahan, dan lemahnya posisi petani dalam rantai produksi masih menjadi hambatan utama.

Periode pemerintahan sejak orde baru hingga saat ini selalu mendorong ketahanan pangan sebagai program prioritas. Sebab, tanpa kemampuan untuk memproduksi pangan secara mandiri, sebuah negara akan selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap krisis global.

Jasa Pembuatan Buku

Tetapi untuk membangun sistem pangan yang adil dan berkelanjutan, ada satu elemen mendasar yang kerap terlupakan yakni akses dan jaminan terhadap hak atas tanah.

Ketersediaan lahan yang memadai dan hak atas tanah menjadi syarat mutlak agar petani bisa berproduksi secara optimal.

Presiden Soekarno saat meresmikan gedung pertama di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tanggal 27 April 1952, beliau melontarkan pernyataan bahwa urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Ia juga menyebut bahwa masalah pangan tidak lepas dari hak atas tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap para produsen pangan.

Artinya, untuk menciptakan sistem pangan yang adil dan berkelanjutan, ketahanan pangan bukan sekadar tuntutan sejarah, tetapi jaminan hak atas tanah bagi petani yang harus dipenuhi.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 50% tanah produktif. Sementara itu, mayoritas petani Indonesia menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang Pasal 8 Nomor 56, Tahun 1960 menyebutkan bahwa setiap keluarga petani memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar, pasal ini menetapkan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian seluas 2 hektar.

Ketimpangan ini membuat petani tidak berdaya untuk menentukan sistem produksi pangan secara mandiri. Jika ada 1% penduduk Indonesia yang menguasai sebagaian besar tanah produktif, maka inilah yang menyebabkan lemahnya posisi petani dalam rantai produksi pangan nasional.

Selain itu, konflik agraria di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Sepanjang tahun 2024, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan terjadi 295 letusan konflik agraria. Konflik-konflik ini mencakup lahan seluas 1,1 juta hektar, 67.436 keluarga terdampak tersebar di 349 desa.

Sebagian besar konflik terjadi karena pengambilalihan lahan pertanian oleh perusahaan-perusahaan besar untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek infrastruktur.

Tanpa jaminan hak atas tanah, mustahil petani dapat memproduksi pangan secara berdaulat. Pemerintah perlu mempercepat penyelesaian konflik agraria dengan skema redistribusi tanah, bukan sekedar sertifikasi.

Ketahanan pangan yang bersifat universal dan makro memang penting, tetapi akan lebih berdampak jika dilakukan dengan asas kedaulatan yang mendorong kemandirian berbasis pada pola produksi keluarga dan potensi pangan lokal. Dengan demikian, posisi petani, nelayan dan masyarakat lokal menjadi subyek utama dalam sistem ketahanan pangan nasional.

Tahun 2024, BPS melaporkan bahwa Indonesia masih mengimpor 4,52 juta ton beras, 1,5 juta ton jagung, dan 11,71 juta ton gandum. Kemudian impor ikan pada Januari hingga Agustus 2024 mencapai 56,80 juta kilogram (kg). Angka tersebut menunjukan bahwa negara kita belum mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Ketergantungan ini menunjukkan lemahnya sistem pangan nasional serta kebijakan pangan yang tidak berpijak pada produksi lokal.

Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 yang mengatur kebijakan pangan di Indonesia, tidak mengatur batasan dan sanksi yang tegas untuk praktik impor yang berlebihan.

Aturan ini gagal menanggulangi ketergantungan impor yang semakin akut, sebab dalam aturan tersebut importasi pangan dilakukan tanpa syarat. Sehingga, memposisikan pangan lokal dan impor setara.

DPR RI tengah berupaya melakukan revisi Undang-Undang tersebut, langkah ini harus menjadi momentum untuk merombak kebijakan pangan nasional agar lebih berpijak pada asas kedaulatan, serta memperkuat posisi petani, nelayan dan masyarakat lokal sebagai produsen pangan nasional.

Dalam Asta Cita Prabowo-Gibran, reforma agraria tercatat sebagai bagian penting untuk mencapai swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Ketahanan pangan tidak akan menjawab persoalan struktural dalam sistem pangan nasional, jika tidak dilakukan dengan pendekatan yang inklusif dan berkeadilan.

Pemerintah perlu memberbaiki kebijakan pangan nasional dengan memperkuat posisi petani, nelayan, masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam rantai produksi pangan serta sistem ketahanan pangan di Indonesia.

*Penulis adalah Fahrul Rojik, Founder Sekawanesia.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store