Keran Impor Garam Dibuka, Ketum Formad Jabodetabek Teriak
Jurnalis: Deni Aping
KABARBARU, JAKARTA – Pemerintah berencana membuka keran impor garam untuk memenuhi pasokan kebutuhan garam di dalam negeri. Namun begitu, pemerintah masih menunggu data terkait pasokan kebutuhan garam dari instansi terkait. Hal itu disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono.
Diketahui sebelumnya, garam yang diimpor Indonesia mayoritas berasal dari Australia dan India. Pada tahun 2010-2019 rata-rata Indonesia memberi garam dari negara lain sebanyak 2,08 juta ton pertahun. Pada 2012-2013, impor garam sempat menurun. Namun, 2014 impor kembali meningkat.
Selanjutnya, Presiden menekan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 untuk mengembalikan kewenangan rekomendasi impor garam industri ke Kementerian Perindustrian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 menyatakan komoditas pergaraman harus mendapat restu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pemerintah beralasan pengalihan wewenang akan mempercepat proses impor garam industri. Selama ini, prosesnya terhambat perdebatan soal kebutuhan impor di antara kedua kementerian tersebut. Bulan lalu, misalnya, Kementerian Perindustrian menyatakan kebutuhan garam industri 3,7 juta ton, sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya merekomendasikan 1,8 juta ton.
Menyikapi rencana kebijakan pemerintah untuk membuka impor garam ini tentu sangat disayangkan oleh Ketua Umum Forum Mahasiswa Madura (Formad) Jabodetabek, Ach Syamsul Hidayat Mahfud yang menganggap pemerintah belum mempunyai desain pengembangan industri garam nasional.
“Pemerintah terkesan dan terlihat belum memiliki desain pengembangan industri garam nasional yang di dalamnya berimplikasi strategi komprehensif dan peta jalannya,” ujar Syamsul Hidayat saat dihubungi Kabar Baru, Kamis (17/3/22).
Pemerintah saat ini cenderung mengambil kebijakan impor dengan hanya merespons kecenderungan permintaan pasar, sebaliknya pemerintah dianggap tidak melihat dari sisi strategi pengembangan industri garam nasional jangka menengah dan panjang.
“Tentu kebijakan tersebut cenderung bersifat reaktif dan tidak konstruktif,” imbuhnya.
Indonesia sebagai negara maritim, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 54.716 km. Dengan garis seluas itu, Indonesia masih membuat tambak garam besar-besaran. Hanya karena kehendak politik dan kompetensi yang dibutuhkan. Tapi setiap tahunnya Pemerintah tetap impor garam besar-besaran, jelasnya.
Ketua umum Formad Jabodetabek, Syamsul Hidayat menolak kebijakan membuka keran impor garam ini. Menurutnya, kebijakan impor semacam itu selalu terus berulang dan pemerintah dianggap tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya. ”Setiap kali pemerintah membuka impor garam, selalu tanpa jawaban kepastian bahwa tahun depan tidak dilakukan kebijakan yang sama,” ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki data yang valid soal kebutuhan garam dan memperhatikan kesejahteraan petani garam. Angka kebutuhan garam setiap tahun seharusnya sudah diprediksi tonasenya sehingga ada target pengurangan impor dari tahun ke tahun yang diikuti dengan target kebijakan produksi dari dalam negeri.
“Bila hal ini dilakukan beberapa tahun ke depan maka swasembada garam dapat dicapai,” katanya.
Namun sebaliknya, Tegas Syamsul Hidayat jika sampai saat ini pemerintah belum memiliki desain kebijakan pengembangan garam nasional yang jelas maka persoalan kebijakan impor garam akan terus berulang.
Ia berpendapat, di masa pandemi Covid-19 sekarang ini berdampak pada kendala dalam proses pengiriman produk ekspor impor maka sudah semestinya dijadikan momentum untuk meningkatkan produksi garam nasional secara lebih komprehensif dan terukur serta melibatkan petani produsen garam.
Sementara itu, pemerintah juga perlu memperbaiki tata niaga garam yang berpihak kepada petani garam dan industri dalam negeri.
“Yang saya lihat, selama ini belum terlihat dari kebijakan pemerintah dalam hal industrialisasi pergaraman. Bahkan, isu soal data pun sejak dulu juga terus mengemuka antara instansi yang satu dengan yang lain. Jika soal data saja masih bermasalah, tidak ada kesepahaman, bagaimana memikirkan soal strategi dan pengembangan produksi garam ke depan,” tutup Syamsul Hidayat.