Kementerian Kelautan dan Perikanan Dorong Integrasi Tata Ruang Darat-Laut di Papua Barat Daya

Jurnalis: Zuhri
Kabar Baru, Sorong – Dalam rangkaian diskusi pemangku kepentingan untuk konfirmasi Materi Teknis Perairan dan Pesisir Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (MTPP-RZWP3K) Papua Barat Daya tahun 2025–2045, Kamis (12/6/25).
Direktur Pemanfaatan Ruang, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Permana Yudiarso menekankan pentingnya penyusunan tata ruang yang terintegrasi antara darat dan laut.
Menurut Permana Yudiarso, sebagai provinsi hasil pemekaran, Papua Barat Daya masih dalam tahap awal penyusunan tata ruang wilayah. Hal ini memerlukan dasar hukum yang kuat, termasuk merujuk pada amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengintegrasikan penataan ruang wilayah darat dan laut.
“Provinsi Papua Barat Daya ini merupakan provinsi baru hasil pemekaran, sehingga dalam prosesnya membutuhkan dasar hukum dan peraturan perundangan yang menjadi fondasi penataan ruang. Saat ini, tata ruang wilayah provinsi belum tersedia. Karena itu, pertemuan ini sangat penting untuk membahas bagian lautnya terlebih dahulu,” ujar Permana Yudiarso saat memberi keterangan kepada awak media didampingi Asisten II Setda PBD Johni Way serta Kepala Dinas P2KP Provinsi Papua Barat Daya Absalom Solossa.
Ia menerangkan bahwa, proses ini bukanlah pertemuan tunggal, melainkan bagian dari rangkaian diskusi berkelanjutan yang nantinya akan digabungkan dengan dokumen tata ruang daratan yang sedang disusun oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Papua Barat Daya. Penyatuan ini akan menjadi fondasi tata ruang Provinsi secara menyeluruh.
“Nantinya, dokumen tata ruang laut ini akan digabungkan dengan dokumen tata ruang darat yang disusun teman-teman dari Dinas PUPR. Hasil akhirnya adalah satu dokumen tata ruang provinsi yang menyatu dan terintegrasi,” terangnya.
Dirinya menekankan bahwa, substansi yang dibahas dalam diskusi ini harus mencakup berbagai pihak dan perspektif. Mengingat rencana tata ruang akan berlaku selama 20 tahun kedepan, sangat penting untuk sejak awal mengidentifikasi semua kebutuhan dan potensi konflik agar tidak ada yang tertinggal.
“Kita perlu menampung semua masukan, menganalisisnya, dan menyusun prioritas pembangunan jangka menengah dan panjang. Sinkronisasi antara kebijakan spasial dan kebijakan pembangunan sangat penting, agar tidak terjadi tumpang tindih atau kontradiksi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya harmonisasi dengan kebijakan nasional. Ia mengingatkan bahwa pembangunan harus berjalan searah agar tidak menimbulkan dampak negatif pada masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu poin penting yang disorot yakni peran masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya kelautan. Praktik-praktik tradisional mereka dinilai terbukti efektif menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus memberikan manfaat ekonomi yang signifikan.
“Masyarakat hukum adat di wilayah perairan Papua Barat Daya memiliki peran strategis. Praktik mereka dalam pengelolaan perikanan lokal sangat berdampak positif, baik bagi lingkungan maupun kesejahteraan ekonomi mereka. Kita juga melihat bahwa kawasan konservasi perairan memiliki efek besar dalam memulihkan ekosistem dan mendukung kehidupan masyarakat setempat,” jelasnya
Dengan melibatkan berbagai pihak, dari kementerian hingga akademisi dan masyarakat adat, diharapkan dokumen tata ruang laut Papua Barat Daya dapat disusun secara partisipatif, holistik, dan berkelanjutan. Proses ini menjadi kunci dalam menciptakan pembangunan wilayah pesisir yang adil, lestari, dan terintegrasi dengan visi besar pembangunan Provinsi. (***)