Kejanggalan di Balik Vonis Bebas Kades Bajugan Tolitoli : Mengapa BAP Polisi Berbeda dengan Fakta Persidangan dalam Kasus Persetubuhan Anak?

Jurnalis: Afriyan
Kabarbaru, Tolitoli Kasus yang menggemparkan melibatkan Kepala Desa (Kades) Bajugan di Tolitoli telah menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan dan konsistensi dalam sistem hukum. Pengadilan Negeri (PN) Tolitoli baru-baru ini memutuskan untuk memvonis bebas terdakwa dalam kasus persetubuhan anak di bawah umur pada Kamis, 1 Februari 2024 , tetapi keputusan ini memunculkan pertanyaan besar seputar perubahan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik polres tolitoli dan perbedaannya dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.
Ketidakhadiran korban dalam persidangan menjadi salah satu aspek yang mengherankan. Meskipun sudah dipanggil secara patut sebanyak tiga kali sesuai dengan pasal Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP “menyebut seorang saksi boleh tidak hadir di persidangan dan cukup menyampaikan keterangannya secara tertulis. Namun, keterangannya itu sama nilainya dengan saksi yang hadir di persidangan” , korban tidak pernah muncul di pengadilan dan bahkan telah meninggalkan desa Bajugan. Hal ini menjadi salah satu kejanggalan dimana korban hadir disaat setelah agenda tuntutan dan dihadirkan oleh pengacara terdakwa , dan pada sidang tersebut saksi korban menerangkan bahwa ia pergi kekalimantan selama proses persidangan.
Namun, yang paling mencolok adalah perubahan dalam keterangan korban. Dalam BAP yang disusun oleh penyidik kepolisian, korban awalnya bersumpah dan dengan jelas mengaku telah mengalami unsur persetubuhan atau pencabulan sebagaimana yang tertulis dalam BAP. Namun, ketika korban akhirnya dihadirkan dalam persidangan, korban tiba-tiba menarik semua keterangannya dalam BAP dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengalami perlakuan yang disangkakan terhadap terdakwa.
Kajari Tolitoli, Albert P. Napitupulu, menegaskan bahwa pihaknya menghormati putusan pengadilan, tetapi merasa perlu mengajukan kasasi agar putusan ini dapat diperiksa kembali oleh Mahkamah Agung. Menurutnya, dalam tata acara yang biasa dijalankan, proses tuntutan seharusnya telah menjadi tahap akhir dalam pembuktian. Keputusan untuk menghadirkan korban setelah proses ini selesai merupakan sesuatu yang tidak biasa.
Pihak kejaksaan akan melakukan upaya hukum terkait putusan ini agar dapat diperiksa kembali oleh Mahkamah Agung, dengan harapan dapat membawa kejelasan dalam kasus yang telah menghebohkan masyarakat ini. Kejadian ini menunjukkan bahwa proses hukum tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan dan bahwa ada ruang untuk pembenahan dalam sistem peradilan.