Jumlah Umat Kristen di Sumenep Turun 4 Tahun Terakhir, Ini Penyebabnya

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Sumenep – Populasi penduduk Kristen di Kabupaten Sumenep, Madura, menunjukkan tren penurunan dalam periode empat tahun terakhir.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumenep menunjukkan, penganut Kristen (Protestan dan Katolik) dari semula 1.209 jiwa pada 2021 menjadi 1.101 jiwa pada 2024.
Penurunan ini terutama didorong oleh berkurangnya jumlah umat Protestan, sementara jumlah umat Katolik relatif lebih stabil.
Data Tren Penurunan
Berdasarkan rinciannya, tahun 2021 jumlah umat Protestan sebanyak 654 jiwa, dan katolik 555 jiwa, dengan total 1.209 jiwa.
Tahun 2022 terdapat total 1.174 jiwa penganut kristen, protestan 627 jiwa, dan 547 jiwa untuk umat Katolik.
Tahun 2023 turun menjadi 1.147 jiwa, protestan 608 jiwa, dan 539 jiwa umat Katolik.
Dengan demikian, umat Protestan mengalami penurunan sebanyak 91 jiwa, sementara umat Katolik turun 17 jiwa.
Kantong Kristen di Kecamatan
Peta persebaran umat Kristen di Sumenep terpusat di Kecamatan Kota, dengan populasi mencapai 811 jiwa, terdiri dari 378 Protestan dan 433 Katolik.
Di luar wilayah kota, komunitas Kristen tersebar dalam kelompok-kelompok kecil dengan variasi jumlah yang variatif:
Kelompok menengah: Batuan (71 jiwa)
Komunitas kecil: Kalianget (33 jiwa), Dungkek (30 jiwa), Batang Batang (22 jiwa), Lenteng (20 jiwa), Gayam (17 jiwa), Arjasa (16 jiwa), Nonggunong (14 jiwa), dan Sapeken (11 jiwa).
Komunitas minor: Ganding (9 jiwa), Rubaru dan Gapura (masing-masing 6 jiwa), dan Kangayan (5 jiwa).
Komunitas terpencil: Bluto, Dasuk, Masalembu (masing-masing 4 jiwa), Saronggi, Manding, Batuputih, Raas (masing-masing 3 jiwa), Talango dan Pasongsongan (masing-masing 2 jiwa), serta Pragaan dan Guluk Guluk yang hanya menyisakan 1 jiwa.
Konfirmasi Gereja
Penurunan ini, khususnya penganut Katolik ini diakui oleh Romo Kornelis Kopong, O.Carm, Pastor Paroki Gereja Katolik Maria Gunung Karmel Sumenep.
“Angka kelahiran kecil, sedangkan angka kematian tinggi,” ujarnya saat diwawancara di Pastoran, pada Selasa (20/8).
Romo Kornelis menambahkan, yang lebih mengkhawatirkan adalah fenomena eksodus generasi muda.
“Faktor utamanya, keluarga-keluarga muda banyak yang keluar. Mereka mengejar pendidikan ke luar kota, seperti Surabaya, lalu bekerja, menikah, dan menetap di sana,” tuturnya prihatin.
“Mereka jarang pulang, kecuali saat Hari Raya. Yang tersisa di sini kebanyakan generasi tua,” tambahnya.
Data ini menunjukkan pergeseran sosial yang dalam, yakni memudarnya salah satu warna dalam mozaik kebinekaan Sumenep.