Indonesia Darurat Kekerasan Anak; Akankah Keadilan Berpihak pada Korban?
Jurnalis: Bagaskara Dwy Pamungkas
Kabar Baru, Jakarta – Belakangan ini publik digemparkan dengan pemberitaan yang sangat amoral menyoal “anak”. Pasalnya masih banyak kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku maupun korban pelecehan, penyiksaan, penculikan, bahkan sampai harus meregang nyawa.
Nia Kurmalasari (18 tahun), gadis penjual gorengan asal Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar), menjadi korban pelecehan oleh tiga orang laki-laki yang tidak bermoral, bejatnya lagi Nia dibunuh oleh pelaku seusainya dirudapaksa oleh ketiga kawanan tersebut.
Mulanya pelaku membeli barang dagangan korban, kemudian muncul niat merudapaksa si korban. Seusainya membeli gorengan si korban, ketiga pelaku mengikuti korban dan menghadang korban yang hendak pulang ke rumah.
Sebelumnya pelaku sudah menyiapkan tali untuk memuluskan niat jahatnya, lalu korban disekap dan dirudapaksa di atas bukit sampai tak sadarkan diri. Kemudian pelaku membawa korban kurang lebih 300 meter dari atas bukit, korban dikubur di kedalaman tanah sedalam 1 meter. Kronologi singkat itu diungkap oleh Suharyono selaku Kapolda Sumbar.
Tidak hanya Nia, Aqilatunnisa Prisca Herlan (5 tahun), juga ditemukan tak bernyawa dalam kondisi dilakban di pantai Lebak, Banten. Dari pemeriksaan kepolisian para pelaku sudah merencanakan pembunuhan sejak satu bulan lalu. Komplotan tersebut antara lain adalah SH (38), RH (38), UH (22), YH (23), dan EM (23), para pelaku mulanya memiliki sakit hati yang sama kepada ibu korban, terkai dengan utang pinjol.
Dari pemeriksaan polisi SH mengaku, saat kejadian korban menggigit tangannya, sehingga SH menutup mulut korban dengan lakban. Selanjutnya wajah korban juga ditutup lakban dengan jumlah yang banyak, lalu diduduki oleh SH dan RH secara bergantian.
Selain di duduki, korban juga dipukul menggunakan peredam kejut (shockbreaker), yang kemudian mengakibatka nyawa korban melayang. Syahdan, tersangka UH dan YH mengendarai sepeda motor kebingungan membawa jenazah korban yang sudah dimasukkan ke dalam tas, mereka berpikir untuk membuang ke jurang atau menguburkannya.
Ternyata nasib buruk tidak mandek di Aqila, hal serupa juga menimpa gadis penjual balon yang masih berumur 13 tahun (AA). AA ditemukan tak bernyawa di area Tempat Pemakaman Umum (TPU), Talang Kerikil, Palembang, Sumatra Selatan.
Hasil autopsi menunjukkan korban tewas akibat kekurangan oksigen, serta ditemukan luka akibat benda tumpul di bagian leher. Awalnya, korban dan pelaku berkomunikasi melalui facebook, kemudian bertemu untuk menonton kesenian tradisional kuda lumping.
Naasnya, pertemuan itu menjadi hari yang mengenaskan bagi korban, karena kenalannya, IS (16 tahun) mengajak teman-temannya, MZ (13 tahun), NS (12 tahun), dan AS (12 tahun), yang kemudian menjadi pelaku pelecehan dengan memaksa AA melakukan hubungan seksual dengan cara dibekap sampai korban tewas. Buruknya lagi, pelaku kembali memperkosa korban untuk yang kedua kalinya secara bergiliran setelah mayatnya di pindahkan ke area kuburan.
Dan peristiwa amoral terbaru juga terjadi di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Jember. Bedanya dengan kasus sebelum-sebelumnya ialah tidak sampai meregang nyawa, namun efek dari kekerasan seksual dapat mengakibatkan gangguan terhadap psikologi si korban, maka jangan sampai ada kata ampun bagi si pelaku kejahatan semacam itu.
Kasus pelecehan tersebut, terduga pelaku dan korban merupakan teman sebaya, kejadiannya bermula ketika terduga pelaku mencegah korban untuk pulang di saat jam sekolah berakhir. Terduga pelaku sebanyak 3 orang melakukan penyekapan, pengeroyokan, kekerasan, serta ancaman yang mengarah pada pelecehan seksual. Akibat kejadian ini korban mengalami trauma.
Dari kejadian tersebut, orang tua korban menuntut keadilan terhadap sekolah, namun pihak sekolah memberi keputusan yang tidak selaras dengan keinginan orang tua korban. Kejadian tak terpuji itu terjadi kisaran pertengahan bulan Agustus, namun sampai hari ini kasus tersebut masih belum menemukan titik terang.
Pasalnya Dinas Pendidikan Kabupaten Jember, yang memiliki kewenangan tinggi sebagaimana diatur dalam Permendikbud RI No.46 Tahun 2023, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan Pasal 1 Bab 1 Ayat 6 menyebutkan bahwa, “Dinas Pendidikan adalah dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintah daerah di bidang pendidikan”, belum bisa memutuskan langkah strategis untuk memfasilitasi kasus ini.
Pada akhirnya, kasus yang terjadi di lingkungan Sekolah Dasar ini masih menggantung di Dinas Pendidikan, yang seharusnya apabila disesuaikan dengan peraturan yang ada menjadi garda terdepan dalam memberantas kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Hingga hari ini, keputusan Dinas Pendidikan yang seadil-adilnya masih menjadi harapan bagi banyak pihak. Akankah hilir kasus ini menemukan keadilannya?