Imingi Kerja di Jepang Pemilik LPK di Lombok Dibekuk, Untung 630 Juta
Jurnalis: Muh Arif
Kabar Baru.co / Mataram,- Direktur PT. Radar Sumedi Indonesia (RSI) dan perekrut Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Wahyu Tuha. SE dan WS, diamankan polisi akibat terlibat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kedua terduga ini melancarkan aksinya dengan mengiming- Imingi belasan korban untuk berangkat kerja ke Jepang.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Pol. Syarif Hidayatullah mengatakan, Kami mendapat informasi LPK yang berada di wilayah Ampenan, melakukan perekrutan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tujuan jepang.
Berangkat dari laporan 17 orang korban yang melapor ke Polda NTB, kasus ini didalami dan setelah diselidiki ternyata terindikasi unsur pidana.
“Karena tidak kunjung diberangkatkan sejak bulan Desember, 17 korban yang merasa curiga kemudian melapor. 6 orang asal Mataram, 5 Lombok Barat, 4 Lombok Tengah, 2 KLU dan sisanya 11 orang yang belum melapor,” ungkapnya. Senin, (11 November 2024)
Setelah dilakukan penyelidikan, terduga WS sejak Desember 2023 hingga Juni 2024, bertugas merekrut pendaftar dan mengarahkan pendaftar ke PT. RSI. WS kemudian berhasil menghimpun dana sebesar RP. 926 Juta dan mendapat keuntungan 296 juta. Sedangkan SE, berhasil meraup keuntungan 630 Juta. Mereka memasang tarif pendaftaran Rp. 30-40 Juta per orang.
Direskrimum Polda NTB mengungkapkan, NTB masih menjadi lumbung kantong korban TPPO terbesar ke 4 setelah Jawa. Hal ini disebabkan mayoritas masyarakat menginginkan untuk bekerja diluar negeri. Hal ini dimanfaatkan oknum, untuk menjanjikan penempatan kerja dengan gaji besar dan menjajikan pengurusan dokumen terkait administrasi. Namun, baik oknum perorangan, organisasi maupun lembaga mengurus paspor keberangkatan secara ilegal dan tidak melalui PBT yang secara resmi mengeluarkan izin keberangkatan.
Kabid Disnaker, M. Ikhwan Abbas turut memaparkan, bahwa LPK yang bersifat milik perorangan tidak boleh melakukan pemberangkatan terhadap PMI. Berdasarkan UU No. 18 tahun 2017 tentang tenaga kerja migran, proses perekrutan ini tidak benar dan menyalahi unsur.
Hal ini berpotensi menjadikan WNI, menjadi warga asing ilegal karena ketidaksesuaian visa yang digunakan dan teknik yang non prosedural.
Namun disisi lain, WS selaku terduga mengaku bahwa dirinya tidak pernah melakukan proses perekrutan. Ia juga mengaku tidak tahu mengenai prosedur pemberangkatan pekerja migran.
“Saya tidak pernah mengatakan saya merekrut. Mengenai keberangkatan bukan kapasitas saya, saya hanya mengajar kursus. Selama ini saya tidak pernah mendapat sosialisasi,” katanya.
Ia membeberkan hanya meminta Rp. 25 Juta kepada pendaftar. “Terkait uang itu Mou dengan lembaga pelatihan kerja, Rp. 25 juta yang lain lain itu dihitung biaya pembelajaran asrama dan makan,” lanjutnya.
Dari hasil penyelidikan, berikut barang bukti yang berhasil diamankan. 2 lembar buku kegiatan belajar, 1 kontrak kerja, 60 dokumen persyaratan, akta kelahiran, sertifikat lembar akreditasi PT RSI, profil lembaga, akta pendirian, surat perjanjian kerjasama, 12 lembar bukti transfer ke PT. Sanusi salah satu LPK yang berada di Jawa Barat Kab. Subang. 28 CV, 1 kwitansi, 3 buku tabungan dan satu set komputer.
Atas perbuatannya, kedua tersangka terancam dijerat Pasal 11 Juncto Pasal 4 UU No. 21 tahun 2007 tentang TPPO dan atau Pasal 81 Juncto Pasal 69 UU No. 18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia. Ancaman pidana penjara paling sedikit 3 tahun paling lama 15 tahun dan denda Rp. 120 sampai dengan 600 Juta.