Arah Pembangunan Indonesia Masih Berantakan

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Di bangku sekolah, kita diajari romantisme Indonesia sebagai zamrud khatulistiwa dengan kekayaan alam dan keberagaman yang disebut sebagai modal bangsa yang paling penting.
Padahal seiring berjalannya waktu yang kini sudah menginjak usia ke 80 tahun pada 2025 ini atau 20 tahun lagi menuju 1 abadnya yang kelak kita cita-citakan akan mencapai era keemasannya itu dengan bonus demografi yang begitu besar.
tapi kenyataannya justru berkata lain, di balik slogan Bhinneka Tunggal Ika, kita sebenarnya memelihara api dalam sekam yang hanya menunggu waktu menjadi semakin besar, bagaimana tidak keberagaman yang sejatinya harus kita rayakan justru dibenturkan dengan politik identitas, intoleransi, dan polarisasi disosial media.
Sementara jargon negeri yang gemah ripah loh jinawi justru sedang diselimuti masalah multidimensional dari mulai persoalan tentang pangan yang semakin mahal, bahannya oplosan, dan mereka yang bergerak dibidang pangan justru terjerat upah murah dan minimnya perlindungan sampai fasilitas.
Sementara pada aspek ekonomi ada gelombang PHK yang terus menerus menerpa, kebutuhan hidup yang semakin naik, dan upah yang tak kunjung layak.
Meskipun Pemerintah sudah mengakalinya secara statistik dengan menurunkan standar garis kemiskinan yang narasi kesejahteraannya sendiri didenggungkan oleh influencer dan buzzer untuk menutupi keresahan bahkan seringkali melakukan kriminalisasi terhadap mereka yang lantang bersuara tetapi kebenaran itu akan menemukan caranya sendiri untuk muncul kepermukaan dalam bentuk kenyataan yang kita alami setiap hari.
Respon pemerintah yang reaksioner disatu sisi juga dianggap sebagai perilaku yang buta nan tuli atau yang kita sebut tone-deaf, memang rasanya ironis , alih-alih menjadikan suara-suara kritis itu sebagai masukan untuk berbenah yang terjadi malah menutup suara-suara kritis dengan dalih kebohongan dan tidak nasionalis.
Jika sudah seperti itu, rasa-rasanya nasionalisme kita selama ini hanyalah kebanggaan semu ibaratkan bius yang justru menutup mata pada ketimpangan dan permasalahan sistemik yang menggerogoti sendi-sendi negeri.
Semua bermula dari tata kelola
Banyak kajian menyimpulkan jika Indonesia dengan segala kekayaannya yang justru terpuruk ini, tidak lepas dari persoalan tata kelola, sehingga amanat konstitusi untuk memakmurkan rakyat hanya tinggal teori diatas kertas.
Almarhum Buya Syafie Maarif bahkan pernah berujar dalam orasi kebangsaan jika sila kelima pancasila sudah yatim piatu sejak lama.
Tapi tata kelola yang dimaksud juga bukan persoalan teknis semata. namun juga persoalan paradigma yang dipakai untuk tata kelola itu sendiri yang cenderung tercerabut dari jiwa Nusantara.
padahal banyak ajaran bagus dari Filsafat Nusantara yang bersumber dari berbagai kearifan lokalnya itu salah satunya senantiasa menekankan harmoni dan keseimbangan ketika membangun sesuatu agar terjadi keselarasan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.
Kalau di Bali, tempat asal saya keselarasan tata kelola itu diistilahkan dengan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam ketuhanan).
Tapi Pembangunan yang selama ini dominan, dengan fokus pada eksploitasi sumber daya alam secara ekstraktif demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi, telah mengoyak harmoni ini. Alam Indonesia diperlakukan sebagai objek tak bernyawa untuk dikeruk, sementara modal kultural dan pembangunan jiwa bangsa justru terpinggirkan.
Meskipun ada revolusi mental, namun apa yang dihasilkan dari revolusi ini yang berdampak nyata secara positif, selain hanya jargon ditengah banyaknya kasus korupsi, nepotisme, dan kolusi yang diperlihatkan secara gamblang didepan rakyat.
Padahal Kalau kita menelaah kondisi ini dari sudut pandang ajaran marhaenisme yang merupakan sosialisme ala Indonesia itu maka kemiskinan di tengah kelimpahan ini adalah bukti nyata dari struktur ketidakadilan dan eksploitasi yang masih bercokol.
Kaum Marhaen yang adalah petani kecil, nelayan, pengrajin, buruh tak bertanah, masyarakat adat, mereka semua sejatinya adalah tulang punggung bangsa yang justru menjadi pihak yang paling rentan dan seringkali terpinggirkan oleh kepentingan model pembangunan yang ekstraktif.
Kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah bersama sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, dalam praktiknya lebih banyak mengalir ke kantong segelintir elite, korporasi besar (domestik maupun asing), dan kroni-kroninya.
Petani kehilangan lahan, nelayan dipersempit area penangkapan ikannya, sementara masyarakat adat kehilangan akses ke ruang hidupnya. Adapun kaum muda yang di gadang- gadang sebagai bonus demografi di suruh untuk keluar negeri dahulu karena susahnya mendapatkan pekerjaan .
Fokus buta pada pertumbuhan ekonomi yang banyak disebut sangat kapitalistik itu pada akhirnya abai untuk memperhatikan keadilan distributif dan kedaulatan ekonomi rakyat yang justru merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Berpikir ulang seputar ekonomi pembangunan
Kita perlu berpikir ulang seputar cara kita mengelola ekonomi, seruan untuk beralih dari resource-based economy menuju knowledge-based economy memang relevan dan mendesak. Namun, perubahan ini tidak boleh sekadar menjadi jargon teknokratis baru yang sifatnya politis.
Pengetahuan yang menjadi basis ekonomi masa depan haruslah inklusif, mengakui dan mengintegrasikan kearifan lokal Nusantara sebagai sumber inovasi yang setara dengan ilmu pengetahuan modern.
Lebih penting lagi, transformasi ini harus secara sadar diarahkan untuk memberdayakan rakyat kecil , memberikan mereka akses dan kontrol atas pengetahuan serta teknologi, sehingga mereka menjadi subjek aktif pembangunan, bukan sekadar objek atau justru korban darj pembangunan.
Prinsip Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah harus diterjemahkan sebagai penggunaan ilmu (termasuk kearifan lokal) untuk mewujudkan keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan kemandirian bangsa yang sejati.
Pada akhirnya, mengatasi kesalahan tata kelola menuntut lebih dari sekadar perbaikan prosedur atau kebijakan parsial namun membutuhkan keberanian untuk menggugat paradigma, untuk kembali menggali dan menghidupkan nilai-nilai luhur Nusantara sebagai kompas pembangunan dan disertai keberpihakan yang tegas kepada kaum Marhaen atau rakyat kecil itu yang memastikan bahwa setiap tetes kekayaan alam dan setiap lompatan pengetahuan benar-benar diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata dan berkeadilan.
Hanya dengan membangun kembali jiwa bangsa seraya menata badannya secara adil dan seimbang, Indonesia dapat terbebas dari ironi dan kutukan negara gagal, serta dapat dengan mudah mewujudkan impian luhur kemerdekaan yang ingin kita bersatu, berdaulat, adil dan makmur seutuhnya.
*Penulis adalah Putu Ayu Suniadewi, Mahasiswi Inti University Malaysia.