PMPI: Perempuan Harus Ambil Peran Dalam Kemajuan Republik Indonesia
Jurnalis: Nurhaliza Ramadhani
Kabar Baru, Jakarta – Gerakan feminisme di Indonesia sudah terdengar sejak tahun 60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an. Hingga saat ini gerakan feminisme di tanah air cukup masih masif, meski dalam perjalanannya tak dinafikan gerakan kaum perempuan ini tetap menuai pro dan kontra.
“Gerakan feminisme di Indonesia cukup masif. Namun pro dan kontra kita lihat masih ada, seperti yang kemarin ramai larangan ikut gerakan feminisme. Karena memang masih ada pembahasan terkait perjuangan perempuan yang dibenturkan-benturkan, misalnya soal perempuan menjadi imam dan lain sebagainya.”
Hal tersebut diungkap Ketua Umum DPP Persatuan Mahasiswa Pecinta Tanah Air Indonesia (PMPI) Khusniyati dalam acara Ngobrol Virtual kabarbaru.co bertajuk ‘Menggugat Feminisme, Antara Gerakan Sosial atau Sekedar Pansos’ melalui live Instagram @kabarbaru.co, Minggu, 4 Juni 2023.
Khusniyati menjelaskan, pada dasarnya gerakan feminisme hanya ingin memperjuangkan hak-hak dasar perempuan sebagai manusia. Seperti hak pendidikan, hak karir/pekerjaan, hingga hak perempuan dalam dunia politik atau pengambil kebijakan.
Karena diketahui bersama budaya dan kultur masyarakat Indonesia masih sangat patriarki.
“Beberapa produk dari gerakan feminisme dapat kita rasakan hari ini, seperti kesadaran pentingnya pendidikan bagi perempuan. Beberapa produk lain yang berbentuk kebijakan pemerintah juga ada, seperti 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif, juga strategi Pengarusutamaan Gender (PUG),” ujarnya.
Meski demikian, Khusniyati melihat masih banyak pekerjaan rumah dalam mendorong upaya-upaya kebijakan kesetaraan perempuan tersebut berjalan secara maksimal. Ia mencontohkan terkait keterwakilan 30 persen di legislatif, bagaimana kebijakan ini bisa terpenuhi sesuai harapan.
“Soal 30 persen keterwakilan perempuan ini bagus, untuk mendorong perempuan ke terlibat. Namun, jangan sampai 30 persen iki hanya untuk memenuhi kuota. Perlu kesadaran bersama juga, bukan hanya patokan 30 persen, tapi forum-forum yang melibatkan perempuan juga harus terus diperkuat,” tegasnya.
“Intinya pemerintah jangan hanya membuat atau menyiapkan wadah untuk perempuan, seperti 30 persen di legislatif. Tetapi juga disertai dengan program-program yang benar-benar berpihak kepada perempuan. Ini yang juga perlu didorong, supaya dapat dengan nyata kehadiran perempuan benar-benar ada,” pungkasnya.