Malam Ketika Purwakarta Menjadi Indonesia Kecil

Jurnalis: Deni Aping
Kabar Baru, Purwakarta – Rembulan belum sempurna tinggi ketika suara tetabuhan tradisional mulai bergema di jantung Kota Purwakarta. Minggu malam, 20 Juli 2025, pusat kota berubah menjadi panggung budaya yang hidup sebuah alun-alun kebangsaan tempat ribuan pasang mata terpaku pada satu titik “Festival Budaya Nusantara” di pertigaan Patung Kereta Kencana, Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Nagri Tengah, Kecamatan Purwakarta.
Diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Purwakarta, festival ini bukan sekadar perayaan tahunan. Ia menjelma menjadi panggung kebhinekaan yang menyatukan keberagaman budaya dari seluruh penjuru Nusantara sebuah wujud cinta, kebanggaan, dan pengakuan kolektif atas warisan leluhur yang terus hidup di tengah arus modernisasi.
Malam itu terasa magis. Sebuah kereta kencana bergerak perlahan menembus lautan manusia. Di atasnya, Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein akrab disapa Om Zein melambaikan tangan, senyumnya lebar menyambut antusiasme warga. Di belakangnya, Wakil Bupati Abang Ijo Hapidin, jajaran Forkopimda, hingga kepala dinas menaiki kuda-kuda gagah, mengiringi arak-arakan budaya dari Jalan Veteran menuju Jalan Jenderal Sudirman.
“Ini bukan sekadar parade. Ini cerminan kekayaan jiwa bangsa yang tumbuh dari desa-desa, dari tanah yang menyimpan sejarah dan kebanggaan,” ujar Om Zein di sela prosesi.

Kemeriahan memuncak saat Ogoh-ogoh dari Bali memasuki arena. Patung raksasa simbol pembersihan diri menjelang Nyepi itu tampil mencolok mengintimidasi namun memikat. Anak-anak ternganga, orang dewasa sibuk mengabadikan momen lewat kamera ponsel. Kekuatan spiritual seolah menjelma lewat tarian Ogoh-ogoh yang meliuk megah di tengah kerumunan.
Sarak-sorai kian membahana ketika Reog Ponorogo dari Jawa Timur muncul. Dadak merak yang menjulang, gemuruh kendang, dan lengkingan terompet membelah malam. Dalam tarian penuh daya itu, tergurat kisah ketangguhan, keringat, dan semangat menjaga tradisi yang tak lekang oleh zaman.
Penampilan kesenian dari berbagai penjuru Jawa Barat turut menyemarakkan panggung. Ada Badud dari Pangandaran yang mengocok perut, Rengkong dari Sukabumi yang luwes dan anggun, hingga Benjang dari Kota Bandung yang enerjik dan dinamis. Kokoprak Genye, seni khas Purwakarta, tampil memesona sebagai tuan rumah yang tak ingin sekadar menyambut, tetapi bersinar bersama.
Tak hanya menampilkan tamu budaya dari luar, setiap kecamatan di Kabupaten Purwakarta pun ambil bagian dalam parade akbar ini. Mereka bukan sekadar pengisi acara, tetapi aktor utama yang menyuguhkan kekayaan lokal yang autentik dan membanggakan.
“Festival ini milik semua warga. Kami ingin masyarakat merasa terlibat langsung, bukan hanya sebagai penonton,” lanjut Om Zein.
Di balik semarak kostum dan irama yang menggema, tersimpan harapan besar: agar festival ini menjadi ruang edukatif sekaligus upaya konkret pelestarian budaya. Di tengah gempuran globalisasi, seni tradisi dipercaya sebagai jangkar identitas yang menghubungkan generasi muda dengan akar sejarah mereka.
Menjelang tengah malam, kawasan Taman Air Mancur Sri Baduga menjadi titik penutup perayaan. Ribuan orang memadati area untuk menyaksikan pertunjukan air mancur menari, berpadu cahaya warna-warni dan musik yang menyayat indah seolah mengalir bersama semangat budaya yang baru saja berpesta.
Tak ada ricuh, tak ada gaduh. Hanya tawa, kekaguman, dan kebanggaan yang mengisi udara malam itu. Sebuah pesta rakyat yang lahir dari hati dan kembali ke hati.
“Rasanya seperti mimpi. Seolah Indonesia hadir begitu nyata dan dekat di jalanan kota kami,” ujar seorang pengunjung, tersenyum bahagia.
Hari itu, Purwakarta tak hanya merayakan ulang tahun kota. Ia merayakan denyut kebudayaan yang hidup, menari, dan menggema bersama langkah-langkah warganya. Purwakarta, malam itu, benar-benar istimewa. (*)