Maksudi Gagas Equilibrium Sosial-Inklusif, Arah Baru Gerakan PMII Jatim

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Surabaya – Calon Ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Timur (Jatim), Maksudi, mengusung satu gagasan besar yang menjadi tawaran alternatif bagi masa depan organisasi “Equilibrium Sosial-Inklusif”.
Gagasan ini bukan sekadar jargon, melainkan manifestasi dari keprihatinan terhadap semakin menguatnya polarisasi sosial, rendahnya literasi digital kader, serta lemahnya keseimbangan antara keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan dalam tubuh PMII Jatim.
Dengan pendekatan yang memadukan teori ekonomi Walras dan Marshall, serta teori sosiologi Parsons, Maksudi membangun kerangka kerja konseptual yang mengintegrasikan nilai-nilai agama, kebangsaan, pengetahuan, dan keberlanjutan lingkungan dalam satu gerak langkah sistematis.
PMII sebagai Equilibrium di Tengah Ketimpangan
“PMII Jatim mesti menjadi penyeimbang. Di sinilah equilibrium kita perankan. Sebuah organisasi Aswaja tak hanya kuat secara ideologis, tapi juga tangguh dalam menjawab tantangan digital, lingkungan, hingga ekonomi kader,” tegas Maksudi dalam keterangan resminya, Rabu (28/5).
Konsep “Equilibrium Sosial-Inklusif” diartikulasikan Maksudi dalam lima misi besar: kaderisasi holistik berbasis potensi zaman, perluasan partisipasi kader di sektor strategis, optimalisasi peran ulama dan umara dalam moderasi beragama, advokasi publik berbasis data dan media kreatif, serta kemandirian organisasi melalui inkubasi wirausaha sosial dan pembentukan BUMKC.
Dalam hal ini, PMII tidak sekadar menjadi organisasi reaktif, tetapi aktor transformasional yang bergerak pada tiga poros utama: intelektualitas, aktivisme, dan inovasi sosial.
Menjawab Tantangan Lokal dengan Nalar Global
Sebagai organisasi kaderisasi yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), PMII Jatim diharapkan tetap menjadi think tank mahasiswa Islam progresif.
Namun, data dari IKA PMII Jatim menunjukkan adanya ketimpangan kapasitas kader: 43% berasal dari kampus berbasis agama, sedangkan hanya 3% dari rumpun sains dan teknologi.
Maksudi menilai, hal ini harus diatasi dengan menciptakan ekosistem kaderisasi berbasis kurikulum transdisipliner.
Salah satu gagasan unggulannya adalah pendirian Sekolah Vokasi PMII Jatim, yang menggabungkan keislaman dengan literasi digital, keterampilan teknis, dan kepemimpinan komunitas.
“Bila kita ingin PMII menjadi center of gravity, kita tidak bisa hanya mengandalkan aktivisme konvensional. Kita harus bisa mendialogkan tradisi dengan teknologi, nilai spiritual dengan data saintifik,” ujar Maksudi.
Toleransi dan Advokasi Lingkungan: Dua Pilar Strategis
Dalam konteks keberagaman Jawa Timur, PMII Jatim diminta untuk mengambil peran lebih besar dalam menjaga kohesi sosial.
Maksudi menggagas pembentukan Forum Lintas Iman PMII Jatim, serta pelatihan kader untuk menjadi fasilitator dialog antaragama di tingkat desa.
“PMII harus hadir sebagai perekat bangsa, bukan sekadar penggerak opini sesaat. Kita perlu menyulam kebhinekaan dengan program yang menyentuh akar rumput,” ungkapnya.
Di bidang lingkungan, Maksudi menyoroti pentingnya respons strategis atas krisis ekologi. Program seperti Green Movement akan dilanjutkan dalam bentuk advokasi berbasis data, penyelamatan kawasan pesisir, hingga penguatan literasi lingkungan berbasis pesantren.
Kemandirian Ekonomi sebagai Pilar Gerakan
Menjawab ketergantungan pendanaan, Maksudi mencanangkan pembentukan BUMKC (Badan Usaha Milik Koordinator Cabang) yang berbasis pada prinsip triple bottom line: keuntungan ekonomi, dampak sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, ia akan menginisiasi Inkubator Wirausaha Sosial PMII Jatim dan pendanaan kolektif berbasis crowdfunding filantropi kader dan alumni.
“Inilah saatnya kita membangun ekonomi kader. Bukan hanya bicara tentang kritik sosial, tapi menciptakan solusi ekonomi yang membebaskan,” jelasnya.
Menuju Gerakan Transformatif
Dengan gagasan “Equilibrium Sosial-Inklusif” sebagai kerangka paradigmatik, Maksudi menempatkan PMII Jatim bukan sekadar organisasi kemahasiswaan, tetapi aktor perubahan sosial berbasis nilai-nilai Islam moderat.
Konsep equilibrium yang selama ini dikenal dalam teori ekonomi dan sosiologi dihadirkan kembali dalam konteks gerakan sosial yang dinamis, adaptif, dan kolaboratif.
PMII Jatim, di bawah kepemimpinannya (jika terpilih), diharapkan menjadi ruang pembelajaran transformatif: merawat nilai-nilai Aswaja, sekaligus menjawab tantangan zaman dengan pendekatan saintifik, spiritual, dan solutif.
“Equilibrium bukan berarti stagnasi. Ini adalah keseimbangan dinamis yang terus menyesuaikan diri dengan tantangan baru. Di sinilah PMII Jatim bisa menjadi laboratorium peradaban,” pungkasnya.