Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Krisis Ekologis Jawa Timur Jadi Sorotan Calon Ketua KOPRI PKC: Kholisatul Hasanah Serukan Arah Gerakan Berbasis Lingkungan

Jurnalis:

Kabarbaru, Surabaya — Krisis ekologis di Jawa Timur mendapat sorotan tajam dari Kholisatul Hasanah, calon Ketua KOPRI PKC PMII Jatim. Lisa—sapaan akrabnya—menilai isu lingkungan harus menjadi bagian penting dari arah gerakan kader PMII terutama perempuan. Terlebih ketika kondisi ekologis kian mengkhawatirkan. Sayangnya, isu strategis ini justru absen dari agenda debat calon ketua PKC dan KOPRI Jatim yang akan digelar Sabtu (21/6) di Pendopo Kabupaten Pasuruan.

Lisa sangat menyayangkan ikhwal minimnya atensi terhadap isu lingkungan dalam diskursus kepemimpinan PMII Jatim. Padahal, menurutnya, krisis ekologis yang terjadi bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan hasil dari relasi kuasa yang timpang atas tata ruang, eksploitasi sumber daya, dan perampasan ruang hidup atas nama pembangunan.

Jasa Pembuatan Buku

“Krisis ini sistemik. Karena itu gerakan kita harus sistematis dan berpihak secara eksplisit, yaitu dalam bingkai pengabdian terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan,” tegasnya usai berkonsolidasi, Jumat (20/6).

Ia menyebut dua misinya sebagai calon Ketua KOPRI PKC—yakni memperkuat KOPRI sebagai mitra kritis-solutif dan membangun konsolidasi kader berbasis zonasi serta manajemen mutu—sangat relevan untuk mengurangi persoalan ekologi di masing-masing wilayah. Lisa menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya merusak alam, tapi juga menghantam sosial-ekonomi masyarakat, terutama perempuan.

“Perempuan adalah kelompok paling terdampak ketika lingkungan rusak. Mereka kehilangan akses air bersih, ruang hidup aman, bahkan keamanan sosialnya. Maka KOPRI harus hadir bukan sekadar sebagai saksi, tapi sebagai pelaku perubahan,” katanya.

Merujuk pada data WALHI Jawa Timur yang mengidentifikasi tujuh wilayah krisis ekologis, Lisa menegaskan bahwa titik-titik tersebut harus menjadi konsentrasi kerja-kerja organisasi. Ia menyebut Surabaya Raya sebagai contoh konkret di mana ruang ekologis terus menyusut dan perlawanan warga justru dikriminalisasi. “Waduk dialihfungsi, ruang hijau menyempit, dan warga yang melawan justru dijadikan tersangka,” sindirnya.

Kasus Waduk Sepat menjadi perhatian Lisa. Ia menyesalkan hilangnya ruang ekologi yang kini berubah menjadi kawasan properti, dan mengkritik negara yang berpihak pada investor ketimbang rakyat. Baginya, ini bukan semata persoalan hilangnya waduk, tetapi bukti nyata keberpihakan negara terhadap modal, bukan terhadap keadilan ekologis.

Tak hanya daratan, Lisa juga menyoroti reklamasi pesisir Surabaya yang menurutnya merupakan bentuk perampasan laut atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). “Ocean grabbing ini meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya sendiri. Mereka tak diajak bicara, bahkan tak dilibatkan secara partisipatif,” tegasnya.

Tragedi Lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi luka ekologis lain yang disorot Lisa. Setelah hampir dua dekade, bencana itu belum juga pulih secara bermartabat. Ia mempertanyakan ketidakhadiran negara serta lemahnya pertanggungjawaban korporasi atas kerusakan tersebut.

Lisa juga mengkritisi ekspansi Lapindo Brantas ke Jombang tanpa dokumen Amdal, hanya bermodal UKL-UPL. “Ini eksplorasi berbahaya di tengah wilayah padat penduduk. Regulasi justru dipermudah demi investasi, bukan untuk melindungi masyarakat,” katanya. Lisa melihat hal ini sebagai bentuk kelonggaran kebijakan yang mengabaikan keselamatan publik demi kepentingan korporasi besar.

Di Mojokerto, Lisa memuji perlawanan warga Desa Lakardowo, terutama para perempuan yang disebutnya sebagai “Green Woman”. Menurutnya, mereka menjadi simbol keteguhan dalam menjaga lingkungan, meski tanpa dukungan negara. “Ketika negara diam, perempuan bersuara. Itu semangat yang perlu dirawat di tiap zona,” ujarnya.

Lisa juga menyinggung nasib Desa Adat Sendi yang hingga kini belum mendapat pengakuan hukum sebagai komunitas adat. Menurutnya, penolakan itu mencerminkan birokrasi yang tidak sensitif terhadap realitas sosial. “Hanya karena tak sesuai administrasi, identitas adat mereka diabaikan. Ini kejam sekaligus absurd,” kritiknya.

Di wilayah Malang dan Pasuruan, Lisa menyoroti paradoks kota sejuk yang justru mengalami krisis air akibat eksploitasi dan pariwisata tak terkendali. Ia menuntut moratorium pengambilan air tanah di kawasan hulu serta penegakan hukum atas pelanggaran di zona konservasi. “Air bukan komoditas. Ia harus dijaga bersama, bukan dijual bebas,” katanya.

Sementara di kawasan Tapal Kuda, Lisa mengecam kriminalisasi terhadap petani hutan yang mempertahankan hak kelola atas tanah. Ia menilai negara lebih memilih mendengarkan korporasi daripada rakyat. “Perhutani boleh menguasai hutan, rakyat malah ditangkap. Ini logika hukum yang kacau dan sangat merugikan masyarakat,” tegasnya.

Lisa mendorong audit ulang terhadap seluruh izin kehutanan dan tambang di Jatim serta pemulihan hak rakyat atas ruang hidup mereka. Menurutnya, peninjauan ulang kebijakan adalah langkah awal untuk membalikkan ketimpangan struktural yang selama ini membelenggu.

Sebagai penutup, Lisa menekankan bahwa KOPRI harus menjadi bagian dari solusi krisis ekologis, bukan penonton. Ia mendorong pembentukan forum advokasi lintas zona serta aliansi strategis dengan akademisi, media, dan lembaga hukum. “Bumi ini tak bisa diselamatkan oleh negara atau pasar. Ia hanya bisa dijaga oleh mereka yang hidup bersamanya—rakyat, komunitas, dan kita semua,” pungkasnya.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store