Dampak Serius Invasi Rusia Bagi Faksi Politik Timur Tengah
Jurnalis: Rahmad
KABARBARU.CO, INTERNASIONAL – Di jalan-jalan Bagdad ditemukan banyak dukungan pada invasi Rusia ke Ukraina. Tulisan “Kami mendukung Rusia” itu memang tidak bertahan lama. Pihak keamanan mengerahkan untuk menurunkannya dan meminta semua spanduk dukungan pada Vladimir Putin tidak lagi terpasang. Rupanya tindakan pihak keaamanan Irak juga hampir sama dengan pandangan politik Hizbullah di Libanon.
Seperti dikutip dari AP, Ihsan Alshamary yang mengepalai Political Thought Think Tank di Baghdad. Irak harus tetap netral karena memiliki kepentingan bersama dengan Rusia dan Barat.
“Irak menentang perang tetapi tidak mengutuknya atau memihaknya, karena mereka anti-Amerika dan anti-Barat dan percaya bahwa Rusia adalah sekutu mereka” kata analis politik Ihsan Alshamary .
Eskalasi politik timur tengah juga ikut menerima dampaknya. Sejumlah faksi politik bahkan pemberontan memiliki pandangannya sendiri dalam menilah invasi pada Ukraina. Hal ini cukup dipengaruhi oleh posisi Rusia dalam aktifitasnya beberapa tahun ini yang semakin kuat. Di samping itu posisi Amerika Serikat di Timur Tengah kian menyusut pengaruhnya. Pasukan lain dari faksi milisi Syiah di Irak, hingga kelompok Hizbullah Lebanon dan pemberontak Houthi di Yaman secara vokal mendukung Rusia melawan Ukraina.
Kelompok-kelompok ini dianggap sebagai sepatu bot Iran di tanah yang disebut anti-AS. “sumbu resistensi.” Putin memenangkan dukungan mereka sebagian besar karena hubungan dekatnya dengan Teheran dan intervensi militernya dalam perang saudara Suriah untuk mendukung Presiden Bashar Assad.
Mereka melihat Putin sebagai mitra yang stabil dan dapat diandalkan yang, tidak seperti Amerika, tidak menjatuhkan sekutunya. Di lingkaran mereka, mereka bahkan memiliki nama panggilan sayang untuk Putin “Abu Ali” yang merupakan nama umum di kalangan Muslim Syiah dan dimaksudkan untuk menggambarkan persahabatan tertentu.
Rusia telah menginvestasikan hingga 14 miliar dolar AS di Irak dan wilayah utara yang dikuasai Kurdi, terutama berfokus pada sektor energi, kata duta besar Moskow Elbrus Kutrashev kepada kantor berita Kurdi Irak Rudaw dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Di antara perusahaan minyak besar yang beroperasi di negara itu adalah Lukoil Rusia, Gazprom Neft dan Rosneft. Irak juga mempertahankan hubungan dekat dengan AS, tetapi perusahaan-perusahaan Barat terus merencanakan untuk keluar dari sektor minyak Irak.
Di Lebanon, pernyataan Kementerian Luar Negeri yang luar biasa blak-blakan yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan kegemparan dan membuat marah Rusia, memaksa menteri untuk mengklarifikasi bahwa Lebanon tidak bermaksud untuk berpihak dan akan tetap netral.
“Mereka menjauhkan diri dan mengklaim netralitas di mana pun mereka inginkan, dan mereka ikut campur dan mengutuk di mana pun mereka inginkan,” tulis anggota parlemen Hizbullah Ibrahim Moussawi di Twitter, membidik Kementerian Luar Negeri. “Kebijakan luar negeri apa yang diikuti Lebanon, dan apa kepentingan Lebanon dalam hal itu? Tolong klarifikasi untuk kami, menteri luar negeri.” Katanya seperti dikutip dari laman AP.
Toby Dodge, seorang profesor Hubungan Internasional di London School of Economics, mengatakan langkah Irak abstain dari pemungutan suara PBB sambil membatasi kegiatan ekonomi adalah bijaksana, mengelola risiko jangka pendek tanpa mengambil sikap ideologis. Tetapi semakin lama perang berlangsung, semakin sulit untuk mempertahankan strategi ini.
“Irak sangat terpecah secara politik di antara para pemain antara pro-Iran dan mereka yang anti-Iran yang mencoba menegaskan otonomi,” pungkasnya.