Perlindungan Mahasiswa Indonesia di Luar Negeri Masih Buruk

Jurnalis: Hanum Aprilia
Kabar Baru, Eropa – Mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri kini menghadapi tantangan baru yang kerap luput dari perhatian publik: minimnya perlindungan sosial dan jaminan keselamatan kerja.
Dalam rilis resminya, Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPID) menyampaikan keresahan kolektif atas banyaknya kasus mahasiswa diaspora yang bekerja paruh waktu atau mengikuti program magang penuh waktu, namun tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya dari sistem jaminan sosial nasional.
Meskipun sebagian besar mahasiswa masih tercatat sebagai peserta aktif jaminan sosial dalam negeri, akses terhadap manfaat seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) belum menjangkau mereka dalam konteks internasional.
Akibatnya, ketika terjadi insiden darurat seperti kecelakaan kerja, gangguan kesehatan serius, atau bahkan kematian, keluarga dan rekan korban dihadapkan pada proses yang panjang dan tidak berpihak.
PPID mencatat sejumlah kasus yang memperlihatkan kegentingan situasi ini. Di wilayah Eropa, misalnya, mahasiswa Indonesia yang bekerja di sektor jasa paruh waktu harus menanggung sendiri biaya medis setelah mengalami kecelakaan ringan di tempat kerja.
Di negara lain seperti Jerman dan Hungaria, ada pula laporan mahasiswa yang menjadi korban eksploitasi kerja hingga indikasi perdagangan orang, lantaran lemahnya pengawasan dan tidak adanya skema perlindungan yang mengikat secara hukum.
“Kami menerima banyak keluhan dari anggota PPI negara yang melaporkan kerentanan ini. Mereka tidak hanya belajar, tapi juga produktif dan turut menyokong ekonomi keluarga. Namun ironisnya, mereka tidak masuk dalam skema perlindungan sosial yang layak,” ujar Andika Ibrahim Nasution – Wakil Koordinator PPI Dunia.
Jika menilik beberapa kebijakan serupa di negara-negara Asia Timur, seperti Taiwan atau Korea Selatan, perlindungan terhadap pelajar atau pekerja migran asal Indonesia cukup terstruktur.
Beberapa kasus bahkan menunjukkan adanya penggantian biaya medis hingga puluhan juta rupiah dan fasilitasi pemulangan jenazah korban kecelakaan. Hal ini kontras dengan kondisi yang dialami oleh mahasiswa Indonesia di luar negeri yang tidak bekerja secara formal di bawah perjanjian negara.
Kondisi ini semakin krusial mengingat banyak mahasiswa Indonesia memilih untuk mencari pengalaman profesional di luar negeri melalui magang, riset, atau kerja sambilan, sebagai bagian dari pengembangan kapasitas diri dan kontribusi terhadap bangsa.
Namun sayangnya, ketika mereka menghadapi risiko, negara belum hadir sepenuhnya dalam menjamin keselamatan mereka.
PPID mendorong adanya reformulasi kebijakan perlindungan sosial yang adaptif terhadap diaspora pelajar. Usulan yang dilayangkan mencakup pengembangan produk perlindungan khusus pelajar luar negeri, perluasan manfaat JKK dan JKM secara lintas negara, serta mekanisme kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dan negara tujuan studi untuk mengintegrasikan sistem perlindungan kerja bagi pelajar.
Selain itu, edukasi terhadap hak-hak mahasiswa serta prosedur perlindungan menjadi langkah penting yang harus diambil. Banyak mahasiswa yang bahkan tidak mengetahui bahwa aktivitas kerja atau magang mereka bisa menjadi celah eksploitasi jika tidak diatur dengan benar.
Melalui pernyataan terbuka ini, PPID menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyusun langkah-langkah kebijakan, mendata diaspora pelajar aktif, serta menyelenggarakan forum-forum publik yang merepresentasikan kebutuhan nyata mahasiswa Indonesia di luar negeri.
“Kami bukan hanya belajar, kami adalah bagian dari investasi sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Negara harus hadir sebelum terlambat,” pungkasnya.