Polemik Peraturan Tatib DPR, Mahasiswa Uji Materiil ke Mahkamah Agung

Jurnalis: Masudi
Kabarbaru.co Jakarta- Peraturan Tentang Tatib No 1 Tahun 2025 sempat viral kemarin, Pasalnya dalam tatib tersebut memberikan kewenangan pada DPR bisa memberhentikan KPK, Kapolri, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi.
Terhadap itu, Kantor Hukum Dignity yang dipimpin Abdul Hakim S..H, M.H, sebagai Ketua Tim Kuasa Hukum mendampingi Setya Indra Arifin Dosen Hukum dari Universitas Nahdatul Ulama Jakarta (Unusia) dan Mahasiswa Hukum A. Fahrur Rozi dari Universitas Syarif Hidayatullah mengajukan Uji Materi Ke Mahkamah Agung.
Pasal yang diuji Pasal 228A ayat (1)”Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana di Maksud Pasal 227 ayat (2) DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”.
Ayat (2)”Evaluasi yang dimaksud pada ayat (1) bersifat mengikat yang disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada Pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku”.
Menurut Abdul Hakim Tatib Pasal 228A ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 70 ayat 3, Pasal 185 ayat 1 dan 2, Pasal 234 ayat 2 UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014.
“Pengujian ke Mahkamah Agung pengujian legalitas, bukan norma, artinya apakah objek yang diujikan itu bertentangan dengan Undang-Undang yang di atasnya atau tidak” ujar Alan Akim Panggilan Akrabnya
Secara teori Hirarki hukum Tatib itu hanya mengikat keinternal bukan keluar, artinya secara teori hukum sudah salah kaprah ketika Tatib bisa menjangkau keluar.
“DPR kalau ngebet ingim punya kewenangan evaluasi tersebut harus diatur dalam undang-undang bukan dalam Tatib, kalau pengen ya, bukan bearti boleh”kata alan akim panggilan akrabnya.
Secara teori kewenangan MD3 juga tidak memberikan mandat tersebut. Artinya, tindakan mengatribusi suatu kewenangan melalui peraturan internal kelembagaan seperti tata tertib adalah tindakan ultra vires yang bertentangan dengan undang-undang.
Selain dari pada itu, fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi kelembagaan yang dimiliki DPR bersifat limitatif hanya dilaksanakan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah (Pasal 70 ayat (3) UU 17/2014).
Secara konseptualisasi yuridis, fungsi pengawasan tersebut tidak diatribusikan untuk mengawasi lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, dan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang, apalagi sampai melakukan evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 228A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan DPR 1/2025.
Dalam posisi seperti itu, menurut Hakim, kewenangan evaluasi ini justru akan mengancam desain kelembagaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Jadi kewenangan evaluasi yang didalilkan berdasarkan fungsi pengawasan DPR adalah alasan yang sesat pikir dan bertentangan dengan desain fungsi pengawasan itu sendiri,” ucapnya.