Valentine Day dan Realitas Sosial dalam Islam
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU.CO- Bulan Februari menjadi kegalauan umat manusia, Kenapa demikian? Sebab di bulan ini, tepat 14 Februari manjadi momentum yang katanya bulan Valentine day (Hari kasih sayang). Mendengar itu sungguh ironis, seolah-olah orang yang jomblo yang seperti saya tidak ada kesempatan untuk menerima sebuah belaian kasih sayang.
Stereotip di masyarakat muncul di bulan februari bagaikan hari raya bagi yang sudah berpasangan, padahal semestinya tidak seperti itu. Konsep kasih sayang seharusnya tidak dibatasi waktu dan objek tertentu, artinya tidak melulu soal pasangan. Bisa saja ia tumbuh kepada seorang ibu, bapak, dan teman sekalipun.
Cukup sulit merubah sebuah persepsi terhadap pola pikir masyarakat, yang masih beranggapan di bulan februari menjadi kiblat utama lahirnya kasih sayang. Kalau kita tilik sejarah, Valentine Day merupakan legenda dari pendeta Kristen bernama Valentine. Sekitar tahun 270M diceritakan bahwa ada seorang pendeta yang dijadikan martir oleh Kaisar Claudius II Gothicus.
Menurut legenda, pendeta itu menandatangani surat “from your Valentine” kepada putri sipir yang telah berteman dengannya dan menurut beberapa disembuhkan dari kebutaan. Juga terdapat catatan lain yang menyatakan bahwa St. Valentine adalah seorang uskup berasal dari Terni.
Jadi memang benar adanya perayaan ini lahir dari sebuah kisah sepasang kekasih, tapi menjadi suatu yang absurd tentunya terhadap orang yang tidak memiliki pasangan. Seolah-olah kasih sayang hanya bisa lahir dari rahim orang yang sedang memiliki pasangan. Bagi orang yang tanda kutip jomblo tidak berhak merayakan Valentine Day. Maka perlu adanya penjabaran tentang kasih sayang secara universal tanpa ada skat dari dua insan yang sedang menjalani hubungan.
Euforia dalam Valentine Day
Kasih sayang semestinya tidak dibatasi simbol, apalagi pemberian tertentu, seperti halnya dengan memberikan coklat terhadap pasangan. Seharusnya jika yang menjadi titik awal adalah kasih sayang, maka bukan coklat yang diberikan. Sebab kalau coklat, itu hanya bisa habis sesaat, artinya tidak mempunyai keabadian ataupun kekekalan.
Berbeda apabila yang diberikan sebuah do’a, ia akan tetap abadi dan terus mengalir. Jadi tolok ukur pemberian seharusnya bukan bersifat materil, karena itu hanya berkala sementara. Nah Islam juga memberikan konsep hal yang demikian, tidak di simbolkan pada materi saja. Akan tetapi bisa saja berupa seperti do’a tadi. Namun tidak mengelakkan pula, jika pemberian berbentuk materil.
Jadi disini saya mencoba mereka-reka interpretasi dari bentuk kasih sayang itu sandiri, yang semestinya tidak hanya terbatas materi belaka. Karena yang muncul di pikiran kita setiap Valentine Day, syaratnya harus mempunyai pasangan dan memberikan coklat. Padahal tidak demikian, karena dengan mensematkan seperti itu justru masih ada batasan tertentu dalam merayakan Valentine Day, apalagi bagi seorang yang jomblo dan tidak mempunyai apa-apa untuk menghadiahi coklat.
Maka dengan secara otomatis ia tidak bisa merayakannya, pasalnya tidak memenuhi syarat diantara keduanya. Justru keberadaannya tidak memberikan anatomi terhadap kondisi manusia yang relevansi untuk bisa ikut serta dalam perayaan valentine Day. Dari itu, perlu adanya pembaharu cara pandang masa kini bahwa untuk mewarnai di valentine day tidak harus mempunyai pasangan, ditambah kencan seharian di caffe tertentu.
Valentine Day dan Realitas dalam Islam
Dalam konsep Islam memaknai cinta maupun kasih sayang, tentunya tidak merambat pada dua pasang kekasih saja. Terlepas dari Islam mengartikan kasih sayang tidak cukup dangkal. Salah satu bukti Islam tidak membatasi objek tertentu dengan di utusnya Nabi Muhammad Saw. Beliau hadir di muka bumi ialah sebagai Rahmatal Lil Alamin.
Hal itu, sangat bertolak belakang dengan konsep Islam itu sendiri. Ketika umat Islam memaknai kasih sayang sebatas di bulan februari. Semestinya ruang dan waktu tidak membatasi itu semua, apalagi hanya di bulan tertentu. Salah satu buktinya adalah Nabi Muhammad saw yang tidak hanya memikirkan persoalan kasih sayangnya terhadap pasangan saja. Akan tetapi ia juga memperhatikan persoalan kondisi umat, sampai ia di akhir hayat pun beliau tetap yang di ingat umatnya, sebelum dicabut nyawanya oleh malaikat Izrail.
Sehingga peristiwa tersebut manjadi catatan sejarah dalam Islam yang sampai saat ini tetap abadi. Maka lewat peristiwa tersebutlah menjadi penanda bagi kita sebagai mayoritas Islam di Indonesia tidak sememestinya terbawa suasana yang acapkali dianggap menjadi budaya kita. Ia walaupun bagi golongan tertentu sah-sah saja merayakannya. Bukan berarti tulisan ini melarang pada keyakinan tertentu, justru ini cambukan bagi saya dan anda sebagai orang Islam.
Menyalahkan budaya tersebut, tentunya suatu pilihan yang salah. Pasalnya kita bukan hidup dalam negara agama, akan tetapi dalam naungan Ideologi Pancasila semua berhak berpegang teguh atas keyakinan maupun kepercayaan yang dimilikinya. Karena melarang hal itu, sama halnya saya melawan Pancasila, dengan mengambil hak-hak dan pilihan keyakinan orang lain.
Maka saya perlu tekankan pada tulisan ini, bahwasanya ini hanya bersifat subjektif saya sebagai orang islam. Terlepas dari itu, semua orang berhak merayakan dan meyakini, jika hal demikian sudah menjadi sebuah budaya dalam agama tertentu. Tapi, tidak bagi saya sebagai orang Islam. Sebagaimana saya katakan diawal, konsep kasih sayang dalam Islam tidak dibatasi ruang dan waktu. Semua bisa tumbuh kapan pun, sekarang dan selamanya.
*) Penulis adalah Moh Kholilur rahman dan acapkali dipanggil Cak lil. Saat ini masih kuliah di Universitas Trunojoyo Madura. Ia juga kader PMII kom UTM dan Mantan ketua PKPT IPNU UTM. Beberapa tulisan fiksi ataupun non fiksi sudah terbit di berbagai media online.
*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co