Surat Brigjen TNI Tumilaar dan Fotret Ketimpangan Pertanahan

Jurnalis: Wafil M
KABARBARU, OPINI – Beberapa hari terakhir ini, masyarakat ramai menyoroti isi surat tulisan tangan Brigjen TNI Junior Tumilaar (Irdam XIII/Merdeka) yang ditujukan kepada Kapolri dengan memberitahukan bahwa ada rakyat bernama Ari Tahiru, rakyat miskin dan buta huruf berumur 67 tahun, ditangkap dan ditahan oleh Polisi setempat karena laporan dari PT Ciputra International/Perumahan Citraland Manado. Ari adalah pemilik tanah waris yang dirampas/diduduki oleh PT Ciputra.
Atas kejadian ini, Ari memohon perlidungan kepada Babinsa (bintara Pembina Desa), namun kemudian Polisi setempat mengirim surat panggilan pemeriksaan kepada Babinsa. Brigjen Tumilaar tidak dapat menerima perlakuan itu kepada jajarannya, dengan alasan bahwa para Babinsa adalah bagian dari sistem pertahanan Negara di darat. Para Babinsa telah diajari untuk tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat, bahkan wajib mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
Atas pembelaan Brigjen TNI Tumilaar kepada seorang petani miskin itu mengingatkan saya pada sosok Jend M Jusuf ketika memimpin TNI dan Polri sebagai Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan di era Orde Baru. Jend M Jusuf terlihat amat dicintai oleh rakyat dan para prajuritnya, karena itikadnya untuk menghadirkan TNI dan Polri di hati rakyat yang dikenal dengan “Kemanunggalan ABRI dan Rakyat”. Beragam kebijakan beliau untuk mewujudkan ikhtiar itu, misalnya melalui kebijakan ABRI masuk Desa, membangun Gedung Kemanunggalan ABRI dan Rakyat di Makassar, dst.
Di era Orde Baru, Jend M Jusuf dikenal sebagai tokoh yang ditahuti oleh para konglomerat nakal. Bahkan di kala itu, pernah beredar berita ketika sang tokoh ini menegur Liem Soei Liong, pemilik BCA, ketika datang di kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya.
Harmoni kemanunggalan ABRI dan Rakyat kelihatannya mulai meredup di era reformasi. Lebih-lebih setelah TNI dan Polri terpisah melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000.
Jarak antara Polri dengan mayarakat terlihat semakin merenggang dengan realitas berikut.
Pertama, pada 2014, Komnas HAM menerima 6179 pengaduan pelanggaran HAM dari masyarakat seluruh Indonesia. Mereka mengadukan empat pihak sebagai pelanggar HAM teratas yakni: polisi 35.6 persen (2483 kasus), kemudian disusul korporasi 1590 kasus (22.8 persen), Pemda 1270 (18.3 persen), peradilan dan kejaksaan 836 (12 persen), dan selebihnya lain-lain. Data ini menunjukkan bahwa 88.7 persen kasus pelanggaran HAM yang menjadi aktor utamanya adalah: polisi, korporasi, Pemda, dan lembaga peradilan.
Logikanya sederhana, biaya politik di negeri ini amat mahal. KPK telah mengungkapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk menjadi Kepala Daerah bervariasi dari Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar atau rata-rata Rp 60 miliar (Kompas, 23/7/2020).
Di sisi lain gaji pejabat Indonesia 2019-2024, secara online mulai dari Bupati dan Walikota hingga Presiden, terlihat amat rendah. Gaji pokok seorang Bupati hanya Rp 2,1 juta dan tunjangan jabatan Rp 3,78 dan tunjangan operasional yang bergantung besaran dari pendapatan asli daerah yang besarannya diatur dalam ketentuan itu (gajimu.com). Jika seorang Bupati pendapatannya hanya dari gaji pokok dan tunjangan resminya yang hanya Rp 5,88 juta sebulan maka untuk mengembalikan modalnya, sang Bupati haruslah bekerja sebagai Bupati untuk masa kerja 170-171 tahun.
Disinilah pangkal utama pelemahan KPK dan suburnya konspirasi antara polisi, korporasi, Pemda, dan lembaga peradilan yang dampaknya akan semakin menyengsarakan rakyat.
Ke dua, Ketua KPK Agus Rahardjo, ketika bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Jaksa Agung Prasetyo di Kementerian Keuangan pada 14 Maret 2018, tiga tahun lalu, mengungkapkan data bahwa saat ini terdapat 35 juta hektar tanah yang dikuasai oleh beberapa korporasi besar namun hanya memberi manfaat yang amat kecil kepada negara yakni sekitar Rp 3 triliun setahun. Tanah seluas 35 juta hektar itu sama dengan 530 kali luas Jakarta –luas Jakarta hanya sekitar 66 ribu hektar.
Yang lebih memprihatinkan lagi di pemberitaan itu adalah konsesi lahan di sektor pertambangan. Jika dihitung jumlah pemberian izin konsesi oleh pemerintah pusat dan daerah kepada korporasi yang jumlahnya puluhan ribu itu, terlihat misalnya, di Sulawesi Tenggara luasnya sudah melebihi seluruh luas wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara itu sendiri. Pemberian konsesi yang tanpa kendali ini, juga terjadi Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara, dan provinsi-provinsi lainnya di tanah air.
Dua hari kemudian di harian yang sama juga ditunjukkan data bahwa terdapat 14 juta hektar tanah yang telah diperuntukkan sebagai lahan sawit. Kawasan perkebunan sawit itu didominasi oleh hanya beberapa perusahaan besar yang telah mendapat sorotan publik karena telah mendapatkan subsidi sebesar Rp 7,5 triliun dari Januari-September 2017 (CNN Indonesia, 18/1/18).
Semua data dan publikasi ini memperkuat bukti adanya dominasi penguasaan lahan sekitar 50 juta hektar di tangan segelintir orang yang tentu ditopang oleh kerjasama antara Pemda dan korporasi dengan pelibatan polisi dan apparat penegak hukum. Akibatnya, jurang kaya miskin semakin melebar yang berbahaya bagi hari depan negeri ini.
Ke tiga, data lain dari pengaduan masyarakat kepada Komnas HAM adalah: 43.2 persen (3011 kasus) menyatakan tidak memperoleh keadilan; 42.5 persen (2959 kasus) menyatakan hilangnya hak mereka atas kesejahteraan yang bersumber dari perampasan tanah mereka sebagai sumber kehidupannya, dan hilangnya rasa aman warga sebesar 12.5 persen (871 kasus).
Data ini menunjukkan bahwa 98.2 persen keresahan masyarakat terkait hilangnya rasa keadilan, hilangnya hak atas kesejahteraan, dan hilangnya rasa aman.
Bertolak dari ketiga realitas tersebut, dan memperhatikan isi pesan surat Brigjen TNI Tumilaar, kelihatannya negara perlu secepatnya hadir kembali mewujudkan peri kemanusiaan, dan peri keadilan dan melaksanakan secara sungguh-sungguh amanat Pasal 33 ayat 3 UUD NRI Tahuan 1945 yang menyebutkan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagai catatan atas surat Brigjen Tumilaar, negara kelihatannya perlu segera menganulir semua aturan perundang-undangan yang tidak adil yang mengabaikan hak-hak masyarakat setempat untuk memiliki/menguasai/ menggunakan tanah dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada; dan negara segera mengambil dan merestribusi tanah seluas 50 juta hektar itu kembali ke masyarakat dengan memperhatikan asas keadilan. PBB menyarankan formulanya 1:2:3, artinya jika terdapat satu hektar tanah bagi warga kelas atas, maka negara memberi dua hektar bagi warga kelas menengah dan tiga hektar bagi kelas bawah.
Indonesia dapat pula memetik pengalaman Afrika Selatan dalam melakukan reformasi agrarianya. Kalangan kulit putih (apartheid) yang minoritas, hanya berkisar 8,9 persen dari seluruh jumlah penduduknya, yang menguasai sekitar 70 persen tanah, namun pasca rezim apartheid tanah itu dapat diredistribusi kembali ke masyarakat kulit hitam secara adil yang jumlahnya 80 persen jumlah penduduk (abcNews, 11.4/2019). Reformasi agrarianya diperkuat dengan undang-undang Equity Acts dan undang-undang Broad Based Black Economic Empowerement Acts.
Terakhir, semoga pandangan Wakil Presiden Drs Mohammad Hatta tentang soal tanah yang disampaikan di muka sidang BPKNP di Yogyakarta 12 September 1948, dapat diadopsi kembali untuk mewujudkan keadilan pengelolaan pertanahan di negeri ini.
Kata Wakil Presiden Hatta: “Berdasarkan kepada semangat Undang-Undang Dasar kita, boleh ditetapkan bahwa miliki tanah besar harus dihapuskan Harus dipeladjari dengan teliti berapa besarnja maximum milik tanah jang dibolehkan. Sebaliknya, harus pula diusahakan supaja tanah jang dimiliki itu tjukup hasilnya untuk mendjamin hidup jang bersahadja bagi pak tani, tjukup untuk dimakannya sekeluarga serta dengan lebihnya untuk pembeli serta keperluan lainnya, pembajar padjak, iuran perkumpulan serta ongkos sekolah anaknya. Miliki tanah yang telalu ketjil mengembangkan pauperisme, kemelaratan hidup, dan harus dikoreksi dengan djalan transmigrasi.”
Semoga Indonesia dapat segera terbebas dari segala bentuk ketimpangan dan ketidakadilan di urusan pertanahan demi hari depan kita bersama.
- Penulis adalah Hafid Abbas Komisioner/Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017).
- Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co